Berlenggangnya PT. ST Nickel Resources dan PT. TAS, Cermin Ketidakhadiran Negara

Asrul Rahmani, Koordinator Koalisi Aktivis Pemerhati Lingkungan dan Pertambangan Sulawesi Tenggara (Kapitan Sultra). (MS/Rakyatpostonline.com)

[responsivevoice_button rate=”1″ pitch=”1″ volume=”0.9″ voice=”Indonesian Female” buttontext=”Klick Bacakan Berita“]
Kendari, Rakyatpostonline.com – Koordinator Koalisi Aktivis Pemerhati Lingkungan dan Pertambangan Sulawesi Tenggara (Kapitan Sultra), Asrul Rahmani, mengatakan Kerusakan alam yang sudah terjadi saat ini, menjadi momentum untuk melakukan audit pertambangan. Pemprov Sultra perlu melihat kondisi lapangan dan memeriksa pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan pemegang IUP. Pengabaian dampak dari pelanggaran usaha pertambangan menjadi cermin ketidakhadiran negara di tengah masyarakat. ”Atau justru negara lemah menghadapi swasta.

Mereka menolak keberadaan PT. ST Nickel Resources di Kecamatan Amonggedo, Kabupaten Konawe dan Tiara Abadi Sentosa (TAS) Di Kelurahan Tondonggeu Kota Kendari. Pihaknya menolak keberadaaan kedua perusahaan ini di wilayah pertambangan karena dianggap tidak memberikan kesejahteraan kepada masyarakat sekitar, juga merusak lingkungan, serta tidak mengedepankan procedural aturan yang berlaku.

Seperti yang terjadi di Kabupaten konawe salah satu daerah di bumi anoa, dengan keluaran Izin Usaha Pertambangan Terbanyak ini hanya dapat berangan-angan untuk mendapatkan imbas kesejahteraan atas pengerukan hasil bumi di daerahnya. Hal tersebut seperti yang diberikan oleh Perusahaan Pertambangan Nikel yang saat ini melakukan Operasi Produksi dan aktifitas pembongkaran di Provinsi Sulawesi Tenggara.

“PT. St. Nickel Resourches telah melakukan pemuatan ore nikel menggunakan jalan nasional tanpa izin lintas. Yakni dari lokasi pertambangan di Kecamatan Amonggedo, Kabupaten Konawe menuju sampai ke milik PT. Tiara Abadi Sentosa (TAS) Di Kelurahan Tondonggeu Kota Kendari,” Ungkap, Asrul Rahmani. Minggu, (12/04/2020).

Temuan Kapitan Sultra di lapangan dan dikonfirmasi oleh Rakyat Post menunjukkan bahwa sejumlah bekas pertambangan tidak mempunyai izin dan dibiarkan oleh pemerintah. Hal itu menunjukkan pengawasan negara di sektor pertambangan amat lemah. Padahal, perusahaan diwajibkan melakukan pengurusan Clean And Clear (CNC) dan pemulihan setelah izin pertambangan selesai.

CNC yang dikeluarkan untuk ST Nickel Resources, Lanjut Asrul Rahmani, didasarkan atas SK Bupati Konawe Nomor 224 Tahun 2014 tentang perubahan titik koordinat. Penerbitan CNC seharusnya berdasarkan IUP, bukan SK perubahan titik koordinat, dan di perparahnya, pelanggaran serius yang dilakukan PT TAS yakni mengoperasikan pelabuhan atau Tersus tidak sesuai peruntukan yang ditetap Dirjen Perhubungan Laut Kementrian Perhubungan dan dinyatakan cacat hukum.

”Jika ditemukan pelanggaran, harus dilakukan penegakan hukum. Kalau ternyata pelanggaran yang dilakukan masif dan banyak masyarakat dirugikan, sebaiknya dilakukan moratorium pemberian IUP dan mengevaluasi izin yang ada,” Jelas, Asrul Rahmani.

Oleh sebab itu, pemerintah perlu mempertimbangkan kembali IUP dengan memposisikan lingkungan tidak hanya sebagai lanskap, tetapi juga keragaman makhluk dan budaya yang menjadi satu kesatuan. Lingkungan merupakan sumber kehidupan masyarakatnya yang tidak semata-mata diabaikan demi pendapatan negara dari sektor pajak pertambangan, namun harus mengedepankan prosedural yang berlaku dan bukan kepentingan kelompok. (*)

(Rakyatpostonline.com/ M. Sahrul)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *