[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Teks Berita“]
Konawe Utara, rakyatpostonline.com- Masyarakat yang tergabung dalam kelompok Samaturu, mendatangi lokasi pertambangan PT. Aneka Tambang (Antam) di Blok Tapunopaka, Kabupaten Konawe Utara (Konut), sejak Kamis (26/8/2021).
Kelompok Samaturu ini disebut sebagai pemilik lahan yang digunakan sebagai lokasi pertambangan. Mereka patungan menyewa perahu bermesin yang biasa disebut Jollor, menuju Blok Tapunopaka.
Sejak tiba di lokasi, mereka memboikot aktivitas kegiatan pertambangan dengan cara pasang tenda kemah, di jalan hauling menuju pelabuhan terminal khusus yang disebut jetty.
Pantauan Rakyatpostonline, tak hanya laki-laki, namun barisan ibu rumah tangga juga melakukan protes kepada PT. Antam ini. Tidak ragu, mereka membawa pakaian, peralatan masak dan bahan makanan.
Kelompok ini pun sudah dua malam menginap di tempat aksi. Mereka rela meninggalkan rumah dan berhenti mencari nafkah, demi mempertahankan hak atas tanahnya itu.
Kekesalan masyarakat ini tentu berdasar, karena telah digelar rapat dengar pendapat (RDP) pada hari Kamis (12/08/2021), di ruang sidang DPRD Kabupaten Konawe Utara (Konut), bersama perwakilan direksi PT. Antam.
Hasil yang disepakati bahwa pihak DPRD merekomendasikan untuk pemberhentian sementara aktivitas pertambangan untuk sementara, hingga ada upaya negosiasi penyelesaian lahan masyarakat.
Salah satu pemilik lahan, Junartin Pagala yang kesehariannya sebagai ibu rumah tangga, mengungkapkan kekecewaannya kepada pihak perusahaan yang terkesan omong kosong karena tak menindaklanjuti rekomendasi DPRD Konut.
Ia bercerita, saat malam hari mereka tidur diatas lumpur beralaskan terpal. Apesnya, semua telepon seluler masyarakat yang dipakai dalam berkomunikasi tak bisa diandalkan lagi setelah beberapa malam, karena baterainya habis.
Junartin membeberkan, PT. Antam tengah berkoordinasi dengan pihak Polres Konut untuk menurunkan personelnya, sehingga pemilik lahan yang melakukan aksi di Tapunopaka sekarang meninggalkan tempat dan pulang ke rumah.
“Tapi kami dari pemilik lahan, sekalipun kepala yang melayang, kami tetap tidak akan meninggalkan lahan kami yang sudah dicuri oleh pihak PT. Antam,” ucapnya tegas.
Ia juga mengajak kepada pemilik lahan lain untuk ikut dalam aksi ini, karena dianggap sebagai jalan terakhir yang ditempuh, demi menghentikan akivitas penambangan perusahaan.
Senada dengan itu, Jubir Kelompok Samaturu, Ashari yang juga selaku Direktur Eksekutif explor Anoa Oheo (EXOH), saat diwawancarai di tempat terpisah, menyampaikan bahwa aksi ini dapat memicu terjadinya konflik horisontal antara masyarakat, pihak PT. Antam termasuk personil kepolisian.
Lanjut Ashari, demi menghindari terjadinya konflik itu, maka permintaan masyarakat untuk menghentikan aktivitas pertambangan sepatutnya dikabulkan. Apalagi DPRD sudah bersikap dengan mengeluarkan rekomendasi.
“Masyarakat yang berkonflik dengan Antam ini sebenarnya sudah masuk fase pembodohan. Masyarakat terlalu teraniaya diatas kepentingan negara. Masyarakat jadi korban, sering dijanji tapi tidak ada penyelesaian. Jadi kasus ini bukan lagi tentang rupiah tapi lebih pada sebuah harga diri,” ucapnya.
Ashari juga menganggap, kesalahan dari PT. Antam karena kurang komunikasi kepada semua pihak. Andai sejak awal pihak perusahaan melakukan sosialisasi, duduk bersama masyarakat dan stakeholder, membahas regulasi, menyampaikan dasar dan landasannya, maka tidak menjadi serumit ini.
“Ini malah memberikan ruang dan janji akan diselesaikan. Coba bayangkan, masyarakat kehilangan materi, waktu dan pikiran hanya sekedar memenuhi undangan pihak Antam pertemuan di Pomalaa Kolaka dan itu sering kali diadakan,” ucapnya kesal.
Janji penyelesaian masalah itu kata Ashari malah semakin diperkeruh, lantaran PT. Antam justru menempuh jalur hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Kendari.
Hasilnya malah berbalik, walaupun masyarakat tidak punya uang, dengan deretan acara sidang hingga putusan, PT. Antam akhirnya kalah dan masyarakat berhasil memenangkan sidang peradilan itu.