[responsivevoice_button rate=”1″ pitch=”1″ volume=”0.9″ voice=”Indonesian Female” buttontext=”Klick Bacakan Teks Berita“]
Tulisan ini merupakan sebuah catatan keresahan penulis atas lemahnya kinerja aparat penegak hukum terhadap para pencuri angkatan Covid-19 (Koruptor, Ilegal Mining dan Elections Crime) dinegeri dengan jumlah penduduk terbesar ketiga didunia ini. Dalam catatan ini, penulis akan menguraikan 3 (tiga) prilaku kejahatan yang dimaksud dengan karegori pencuri dalam coretan ini. Pertama, adalah oknum-oknum diduga terlibat dalam skandal kasus mega korupsi yang sampai saat ini belum terselesaikan atau bahkan ditutup oleh Komisioner KPK yang baru. Kedua, adalah oknum-oknum diduga terlibat dalam kejahatan lingkungan dan Ilegal mining yang sampai saat ini belum terselesaikan oleh aparat kepolisian.
Terakhir, Adalah peristiwa yang sempat heboh pada februari kemarin, yah Soal dugaan suap salah seorang Oknum Komisioner KPU RI yang dilakukan oleh Caleg Parte pemenang pemilu 2019, dimana oknum yang diduga terlibat dalam kasus tersebut malah lebih dahulu melakukan Karantina Mandiri dari pengejaran Komisi Anti Rasuah sebelum ada instruksi resmi dari pemerintah.
Tiada lagi riuh, siapa sangka jika ketiganya ternyata bahu-membahu bersama aparat penegak hukum melawan Penyebaran Covid-19 atau virus corona dinegeri ini. Lah kok bisa ?. Yah bisa saja, Kondisi seperti ini mah, tanggalkan dulu penegakan hukumnya. Prioritaskan manusianya, kita berkawan dulu hadapi wabah ini, kan butuh biaya besar dan butuh partisipasi banyak pihak termasuk para penjahat itu… Hehehe.
Nah, Coba kita mulai dengan mengulas kerja-kerja Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) selama pergantian Komisioner yang baru dibawah Nahkoda Firli Bahuri. Seakan memang tiada yang keliru, apalagi salah (!) dari perjuangan adik-adik saya dikota kendari beberapa bulan lalu, penuh luka lebam akibat pentungan oknum aparat kepolisian hingga merenggut dua korban jiwa Randi dan Yusuf Sang pejuang reformasi kita.
Benar kekhawatiran mereka, bahwa badai besar tangah ancang-ancang untuk menerpa integritas penanganan kasus korupsi si gedung merah putih itu, bahkan akan seperti harimau yang meninggalkan belangnya, bukan hal yang mengerikan lagi bagi para perampok uang negera ini, melainkan menjadi teman ngopi sambil ngobrol-ngobrol bisnis jangka panjang.
Bayangkan saja hampir dua bulan indonesia disasar Covid-19, Komisi anti rasua tersebut malah lebih awal melakukan lockdown kepada musuh-musuhnya bersamaan dengan mewabahnya Virus Corona (Covid-19) kepelosok negeri dibumi pertiwi ini. Dengan format KPK saat ini, Penulis memprediksi ditahun ini jumlah penangangan kasus korupsi yang ditangani bakal menurun dan tunggakan perkara besar seperti BLBI dan Century berpotensi mangkrak karena lemahnya kewenangan KPK.
Belum lagi operasi tangkap tangan (OTT) yang menjadi andalan KPK berkurang tajam karena proses untuk mendapatkan izin, berdasarkan Revisi Undang-Undang KPK nomor 19 tahun 2019, pimpinan KPK perlu meminta izin Dewan Pengawas jika ingin melakukan penyadapan. Dengan kondisi tersebut maka wajarlah jika KPK memilih StayAtHome atau WorkFromHome, serasa menjalankan instruksi presiden merupakan jalan paling aman ketimbang serius ngobrol perangi korupsi, ternyata hanya bercanda… Hehehe.
Walaupun selama empat tahun terakhir, KPK telah bekerja maksimal, melakukan 87 OTT dengan tersangka 327 orang, melakukan 498 penyelidikan kasus, 539 penyidikan, 433 penuntutan, 286 putusan berkekuatan hukum tetap, 383 eksekusi dan 608 tersangka, paling tidak kita juga mesti mengapresiasi kinerja KPK Saat ini dengan prestasi “Cegah Penyebaran Virus Corona, Sidang Kasus Korupsi Digelar Lewat Video Conference”
PARA PENJARAH SUMBER DAYA ALAM IKUTAN LOCKDOWN
Ditengah mewabahnya virus corona dinegeri ini, sudah semestinya seluruh sumber daya digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat baik dalam alat pelindung diri, obat-obatan hingga jaminan pangan ketika keputusan pemerintah untuk lockdown. Berbicara soal sumber daya, penulis lebih tertarik jika focusnya adalah soal sumber daya alam, kegiatan pertambangan perusahaan-perusahaan legal dinegeri ini baik Emas, Batu bara maupun Nickel. Nah, soal Tambang Emas, pasti fikiran kita akan tertuju pada PT. Freeport Indonesia di papua, menurut penulis selama Covid-19 ini mewabah perusahaan pemegang Kontrak Karya terlama yang berhasil diakuisisi sahamnya oleh presiden Jokowi ini baru berpartisipasi mengenai penanganan virus corona kemarin siang (31 Maret 2020).
Bersama Pemkab Mimika PT. FPI mendonasikan bantuannya sebesar 5 Milyar, tentu ini tidak sebanding dengan penghasilan PT. Freeport Indonesia setiap tahunnya dimana keuntungannya paling rendah senilai 56 Triliun, Sungguh ini bukan sikap serius membantu penangan, Justru kalah jauh dari donasi yang diberikan oleh PT. Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) kepada negara untuk penanganan Virus Corona yakni senilai 20 Milyard, padahal perusahaan ini kerap kali dituding sebagai perusahaan anti nasionalisme. Menurut Penulis ribuan Perusahaan tambang legal saja masih acuh terhadap kewajiban (Fardhu Ain) terhadap musibah Covid-19 ini dan Negara telah memanggil, apalagi lagi jika Penambang Ilegal ?.
Kita beranjak disoal Nickel, Urusan satu ini Sulawesi Tenggara primadonanya, mulai Perusahaan tambang Legal sampai penambang ilegal. Masih ingat tindakan penyegelan yang dilakukan aparat penegak hukum terhadap Perusahaan PT. OSS di Konawe, PT. Babarina Putra Sulung di Kolaka, PT. Kurnia Mining Resources dikolaka Utara, PT. Trias Jaya Agung Di Kabaena – Bombana dan terakhir Penyegelan Aktivitas pertambangan diduga Ilegal di Areal IUP PT. Bososi Pratama bersama 6 Perusahaan Join Operasionalnya penindakan dilakukan oleh TIM Investigasi Mabes Polri terhadap dugaan ilegal Mining yang dilakukan PT. RMI (Rockstone Mining Indonesia), PT. TNI (Tambang Nikel Indonesia), PT. NPM (Nuansa Perkasa Mandiri), PT. AMPA, PT. PNN (Pertambangam Nikel Nusantara), dan PT. Jalumas dan PT. Bososi Pratama selaku pemilik IUP belum menemukan kejelasan.
Sampai saat ini Polri belum juga melakukan penetapan tersangka kepada sejumlah oknum yang bertanggung jawab atas dugaan Ilegal mining tersebut. Mungkinkah ada yang sedang memanfaatkan situasi negera yang sedang tidak baik-baiknya terporak-poranda oleh virus corona, untuk menunda penanganan kasus ilegal mining tersebut, sehingga perlahan menyelamatkan mereka dari potensi jeratan hukum ?.
BERSAMA KPK KARANTINA MANDIRI LEBIH AWAL
Belum sempat terganggu akibat corona, ingatan ini masih lekat dengan peristiwa yang sempat heboh pada februari kemarin, yah Soal dugaan suap salah seorang Oknum Komisioner KPU RI yang dilakukan oleh Caleg Parte pemenang pemilu 2019, dimana oknum yang diduga terlibat dalam kasus tersebut malah lebih dahulu melakukan Karantina Mandiri dari pengejaran Komisi Anti Rasuah sebelum ada instruksi resmi dari pemerintah.
Siapa Sangka telah lebih dari 60 hari, Harun Masiku (Hamas) tidak diketahui keberadaannya bagai ditelan bumi. Hamas adalah mantan calon anggota legislatif PDIP daerah pemilihan Sumatera Selatan I, kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan suap ke mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.
Hamas diduga memberi suap ke Wahyu Setiawan agar bisa ditetapkan sebagai pengganti Nazarudin Keimas yang lolos ke DPR, namun meninggal dunia. Harun diduga menyiapkan uang sekitar 850 juta rupiah untuk pelicin agar bisa melenggang ke Senayan. Singkatnya begini, sebelumnya KPU sendiri telah menetapkan Riezky Aprilia, kader PDI-P lainnya sebagai pengganti Nazarudin. Sehari sebelum OTT KPK Pada 7 Januari, KPU menolak permohonan PDIP untuk menetapkan Harun menggantikan Nazarudin dan tetap memutuskan Riezky sebagai penggantinya.
Kemudian Operasi OTT terjadi, penetapan tersangka, lalu Harun pun menghilang. Para penunggu Gedung Merah Putihpun mengimbau agar mantan kader PDI-P itu segera menyerahkan diri. Namun yang terjadi, belum seminggu KPK menetapkan Harun sebagai tersangka, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyebut Harun sudah berada di luar negeri ketika pihaknya melakukan OTT, dikliamnya info yang didapatkan berasal dari Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.
Kemudian Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Arvin Gumilang mengatakan Harun tercatat dalam data perlintasan terbang ke Singapura, pada 6 Januari, ia menyampaikan Harun belum kembali lagi ke Indonesia itu diperkuat oleh pernyataan Menkumham Yasonna H. Laoly yang menegaskan bahwa Harun belum kembali ke Indonesia. KPK lantas mengirim surat pencegahan ke luar negeri atas nama Harun ke pihak Imigrasi.
Anehnya, Harun diketahui sudah kembali ke Indonesia pada 7 Januari dalam Pengakuan dari istrinya, Hildawati Jamrin soal keberadaan Harun sudah di Jakarta pada 7 Januari. Belakangan, pihak Imigrasi baru mengakui Harun telah kembali ke Indonesia pada tanggal itu. Lagi-lagi Imigrasi berdalih bahwa terjadi kerusakan sistem, sehingga data perlintasan Harun tak masuk dalam pusat informasi. Itulah, ini yang hebat Si Hamas, atau Imigrasi ?.
Pemahaman saya sebagai seorang Gaptek (Gak Paham Teknologi), jika memang benar sistem rusak, pihak imigrasi atau Yasonna sekalipun bukan kah bisa meminta untuk melihat data secara manual ke petugas imigrasi di Bandara Internasional Soekarno-Hatta ketika Harun dicari-cari keberadaannya, Tapikan ini ? Ah. Sudahlah.
Maka tak heran, saya dan mungkin kebanyakan masyarakat Indonesia menganggap pihak KPK, Imigrasi, termasuk Yasonna menutupi informasi kedatangan Harun ke Indonesia. Seakan keduanya ingin membuat skenario jejak Harun sudah berada di luar negeri sebelum OTT.
Hal tersebut membuat Penulis beranggapan status DPO (daftar pencarian orang) Harun Masiku yang disematkan oleh Kepolisian atas permintaan KPK RI, baiknya diganti saja dengan status ODP (orang dalam pantauan) dalam istilah era covid-19, Karena toh ternyata cara petugas medis lebih ampuh mengidentifikasi para ODP, ketimbang upaya KPK dan Polri dalam mengejar DPO Harun Masiku yang sedang lockdown, Mengingat saat ini fokus KPK RI adalah pencegahan “mencegah lebih baik dari pada mengobati (menindak)”.
NAPI DAN PEMERINTAH BERSETUBUH LAWAN COVID-19
Belum lama buat publik heboh soal Hamas (Harun Masiku) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly kembali membuat kita tercengang, pihaknya memutuskan membebaskan 30 ribu narapidana dengan alasan darurat wabah virus corona, itu tertuang dalam keputusan tentang pengeluaran dan pembebasan Narapidana dan Anak melalui asimilasi dan integrasi, sungguh ini kabar baik untuk narapidana, sekaligus kabar buruk untuk kami yang akan kembali dijarah oleh mereka.
Mengutip pernyataan Menkumham pada salah satu media online, Ia menyampaikan bahwa Dalam Keputusan Menteri Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 pengeluaran Narapidana dan Anak melalui asimilasi akan dilakukan dengan berbagai ketentuan antara lain, narapidana dengan 2/3 masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020; Anak yang 1/2 masa pidananya jatuh sampai dengan tanggal 31 Desember 2020. Narapidana dan Anak yang tidak terkait dengan PP Nomor 99 Tahun 2012, yang tidak sedang menjalani subsidair dan bukan warga negara asing. Kemudian, usulan dilakukan melalui sistem database pemasyarakatan dan surat keputusan integrasi diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan.
Kepmen itu mengatakan pembimbingan dan pengawasan asimilasi dan integrasi dilaksanakan oleh Balai Pemasyarakatan. Lebih lanjut, laporan mengenai pembimbingan dan pengawasan ini dilakukan secara daring. Kemudian Kepala Lapas, Kepala LPKA, Kepala Rutan dan Kepala Bapas menyampaikan laporan pelaksanaan pengeluaran dan pembebasan Narapidana dan Anak kepada Dirjen Pemasyarakatan melalui Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham dan melaporkannya kepada Dirjen Pemasyarakatan.
Penulis berpendapat bahwa pemerintah tidak boleh hanya memikirkan upaya penyelamatan Narapidana dan Anak yang berada di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) dari infeksi virus corona (Covid-19), namun memikirkan Keamanan dan Keselamatan mayoritas Warga terutama kuangan negara ini ketika 30 ribu narapidana dibebaskan (mungkin termasuk napi korupsi dan penjahat kepemiluan).
Terakhir, kebijakan pemerintah atas musibah virus corona (covid-19) yang tengah menimpah bangsa kita saat ini, tidak akan sepenuhnya mengubah tabiat para penjarah uang rakyat, penjahat lingkungan dan penjahat pemilu untuk tetap mengulangi perbuatannya. Namun dengan alasan kemanusiaan kita berhak melakukan antisipasi untuk memutus mata rantai penyebaran virus mematikan ini. (*)
Oleh : Muhamad Ikram Pelesa
(Wakil Sekretaris Jenderal PB HMI Periode 2018-2020)