Konawe Utara Sebagai Sentral Penambangan Ilegal

Oleh : Hendro Nilopo
Ketua Umum Aliansi Masyarakat Peduli Hukum Sulawesi Tenggara.
Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Jayabaya – Jakarta

[responsivevoice_button voice=”Indonesian Male” buttontext=”BACAKAN“]
Negara telah mengatur dengan seksama bagaimana tatanan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang baik dan benar dengan berpedoman pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Agar hasil dari pengelolaan SDA tersebut mampu dirasakan dan dinikmati oleh masyarakat itu sendiri sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945.

Terkhusus pada sektor pertambangan mineral logam (nikel), tepatnya di Kabupaten Konawe Utara (Konut) yang saat ini di kenal dengan kekayaan nikelnya. Seakan kita semua sedang dipertontonkan bagaimana kebobrokan penegakkan hukum pada sektor pertambangan di Sulawesi Tenggara khususnya di Kabupaten Konawe Utara terjadi di depan mata.

Kegiatan Penambang lahan koridor (Pelakor) atau lahan tak bertuan bukan lagi menjadi rahasia ataupun hal yang tabuh untuk dilakukan oleh para mafia tambang di Konawe Utara saat ini. Justru, kegiatan penambangan pada lahan tak bertuan semakin leluasa dilakukan tanpa memperdulikan berbagai aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah berkaitan dengan kegiatan pertambangan.

Berbagai aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai pedoman pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang baik dan benar di negeri ini termaksud Konawe Utara tak lagi dijalankan sebagaimana mestinya. Sehingga praktik-praktik penambangan dengan cara-cara yang brutal atau bertentangan dengan aturan kian marak dilakukan oleh para mafia tambang.

Berikut ini merupakan beberapa aturan yang seharusnya wajib untuk ditaati, namun justru kerap diterobos oleh para pelaku penambang lahan koridor diantaranya, UU No. 3 Tahun 2020 Perubahan Atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakkan Hutan (P3H) dan UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

Dari aspek UU Minerba :
Berdasarrkan Pasal 158 UU No. 3 Tahun 2020 perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara disebutkan : “Setiap orang yang melakukan kegiatan penambangan tanpa izin dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000.000 (Seratus Miliar Rupiah).

Dari aspek UU Kehutanan / P3H :
Berdasarkan Pasal 89 ayat (1) Huruf a Jo Pasal 17 ayat (1) huruf b UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakkan Hutan (P3H) disebutkan : Setiap orang yang melakukan kegiatan penambangan didalam kawasan hutan tanpa izin dari menteri dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling sedikit Rp. 1.500.000.000 (Satu Miliar Lima Ratus Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000 (Sepuluh Miliar Rupiah).

Selain aturan diatas, masih ada beberapa aturan terkait lainnya yang berhubungan dengan kegiatan usaha disektor pertambangan nikel seperti, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran serta beberapa aturan lainnya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (PERMEN).

Tak hanya itu, pada tanggal 20 Mei 2015 lalu, 20 Menteri dan Sembilan lembaga negara telah menandatangani Nota Kesepakata Rencana Aksi Penyelamatan Sumber Daya Alam Indonesia. Dalam kesempatan yang sama, dilakukan pula deklarasi aparat penegak hukum mendorong penyelamatan SDA di Indonesia.

Para penegak hukum tersebut diantaranya, Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI Taufiqurahman Ruqi, Jaksa Agung HM. Prasetyo, Panglima TNI Jenderal Moeldoko, dan Wakil Kapolri Komjen. Pol. Badrodin Haiti. Keempat institusi penegak hukum tersebut komitmen untuk mendorong dan mengawal penyelamatan Sumber Daya Alam di Indonesia.

Deklarasi penyelamatan Sumber Daya Alam Indonesia itu dilakukan guna mengatasi sejumlah persoalan pada pengelolaan Sumber Daya Alam di beberapa sektor, salah satunya di sektor pertambangan mineral logam dan mineral non logam sekaligus meningkatkan penerimaan daerah dan negara demi kesejahteraan rakyat.
Selanjutnya pada tanggal 10 Maret 2017, Presiden Republik Indonesia Ir. H. Joko Widodo telah menginstruksikan penutupan tambang ilegal diseluruh wilayah Indonesia.

Sehingga pada tahun 2020, pemerintah kemudian melakukan pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang totalnya kurang lebih 2.078 izin tambang. Hal itu dilakukan untuk membenahi pengelolaan Sumber Daya Alam di sektor pertambangan agar dapat memberikan manfaat yang lebih besar kepada negara dan rakyat Indonesia.

Namun ironisnya, pasca deklarasi penyelamatan Sumber Daya Alam Indonesia hingga pada pencabutan ribuan IUP Tambang. Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia menurut penulis, justru semakin tak terkendali. Praktik penambangan ilegal yang kian mengkhawarirkan melahirkan pemikiran skeptis di masyarakat terhadap potensi kesejahteraan rakyat yang bersumber dari pengelolaan SDA di Indonesia tak terkecuali di wilayah Kabupaten Konawe Utara yang menjadi sentral kegiatan penambangan ilegal saat ini.

Implementasi UU Minerba ditambah deklarasi penyelamatan SDA oleh 20 Menteri dan Sembilan lembaga negara hingga instruksi Presiden soal penataan pengelolaan SDA yang baik nampaknya masih sangat jauh dari harapan. Hal itu dapat dibuktikan dengan masih maraknya kegiatan penambangan ilegal (ilegal mining) khususnya di wilayah Morombo, Konawe Utara yang terkesan sangat leluasa tanpa ada pengawalan dari Aparat Penegak Hukum.

Meskipun aturan pengelolaan SDA sudah sangat jelas, seperti yang diterapkan dalam UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H), UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dan beberapa aturan lain yang berkaitan dengan mekanisme pengelolaan SDA yang baik dan benar.

Akan tetapi, praktik penambangan ilegal yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah pertambangan dan juga bertentangan dengan berbagai peraturan perundang-undangan tak mampu untuk dituntaskan oleh pihak-pihak yang berwenang.

Pertanyaannya adalah, bagaimana bisa kegiatan penambangan ilegal khususnya di wilayah Konawe Utara bisa sangat leluasa dilakukan? Apakah hal tersebut merupakan bentuk kelalaian dari Aparat Penegak Hukum atau ada hal lain sehingga kegiatan penambangan ilegal di wilayah Morombo tak mampu untuk dituntaskan?.

Padahal kegiatan penambangan ilegal merupakan sebuah kejahatan yang wajib untuk di berantas oleh Aparat Penegak Hukum (APH) tanpa terkecuali sesuai dengan perintah undang-undang yang berlaku di negeri ini.

Penulis ingin menguraikan beberapa contoh kegiatan penambangan yang disinyalir kuat tidak dilengapi dengan perizinan dibidang pertambangan, tetapi bisa dengan leluasa dilakukan tanpa ada penindakan dari Aparat Penegak Hukum.

Beberapa kegiatan penambangan ilegal yang menjadi perhatian adalah kegiatan penambangan PT. Cipta Surya Delapan (CS8) di wilayah Morombo, Kecamatan Lasolo, Kabupaten Konawe Utara yang sangat leluasa dilakukan tanpa ada proses hukum. Meskipun tidak mengantongi perizinan untuk melakukan kegiatan pertambangan.

Hal itu dibuktikan dengan tidak adanya proses hukum terhadap pemilik atau unsur pimpinan PT. CS8 hingga saat ini.  Padahal, kegiatan pertambangan PT. CS8 tidak dilengkapi dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan tanpa Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) atau Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) serta beberapa dokumen pendukung lainnya.

Tidak hanya itu, selain PT. CS8 ada juga perusahaan lain yang melakukan hal yang sama namun tak kunjung di proses hukum seperti  PT. Sumatra Mining Investama (SMI), PT. Universal Pasific Energi (UPE) dan PT. Putra Jaya Perkasa (PJP, PT. Pribumi Rimba Tenggara (PRT) serta masih banyak lagi perusahaan-perusahaan yang melakukan kegiatan pertambangan tanpa Izin Usaha Pertambangan (IUP) tetapi bebas melakukan kegiatan penambangan.

Kondisi tersebut tentunya menggambarkan suatu kemerosotan atau penurunan penegakkan supremasi hukum di sektor pertambangan terkhusus di Bumi Oheo, Konawe Utara dan umumnya di Bumi Anoa, Sulawesi Tenggara.

Maka dengan demikian, berdasarkan uraian diatas menurut hemat penulis diperlukan langkah-langkah pasti dari pemerintah untuk melakukan penyelamatan Sumber Daya Alam (SDA) pada sektor pertambangan nikel di Konawe Utara dengan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap instansi-instansi terkait serta institusi penegak hukum selaku Stake Holder bagi perusahaan pertambangan.

Terlebih bagi instansi atau institusi yang telah diberikan kewenangan oleh negara untuk melakukan penindakan terhadap kegiatan penambangan ilegal maupun perusakkan kawasan hutan tetapi tidak menjalankan amanah tersebut wajib untuk di evaluasi atau bahkan diberikan sanksi guna menjadi perhatian bagi instansi atau institusi yang lain agar kedepannya mampu menjalankan amanah yang di berikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (**)


 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *