[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Teks Berita“]
Provinsi Sulawesi tenggara merupakan salah-satu daerah yang kaya akan sumber daya alamnya, hal tersebut dapat kita lihat pesatnya kemajuan dari segi sektor industry pertambangan dan perkebunan.
Namun, jika di liat dari kacamata hukum sangat banyak perusahaan pertambangan yang di nilai bertentangan dengan procedural sebagaimana kaidah-kaidah pertambangan yang sesuai dengan hukum postif saat ini, mulai dari seringnya sebagian perusahaan yang cacat administrasi, perambahan kawasan hutan, kemudian di susul dengan penambangan di luar wilayah IUP, bahkan izin operasi produksi yang bertentangan dengan modi izin.
Hal tersebut munculnya tulisan ini untuk menyoroti salah satu perusahaan pertambangan yang berada di Provinsi Sulawesi Tenggara, yakni PT. ST. Nickel Resources yang melangsungkan kegiatan pertambangan Nickelnya di Kabupaten Konawe, Kecamatan Amonggedo, Desa Dunggua. Menilik substansi permasalahan yang kemudian di soroti oleh penulis yakni terkait dengan kebijakan pemerintah setempat dalam menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang di duga bentuk “Reinkarnasi” dalam penerbitan IUP.
Latar Belakang Pencabutan IUP Produksi PT. ST. Nickel Resources Pada tahun 2012
Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. ST. Nickel Resources di keluarkan pada tahun 2009 yang berada di periode Kepemimpinan mantan bupati Konawe yakni Lukman Abunawas, hingga kemudian IUP PT. St. Nickel dicabut pada tahun 2012 oleh Lukman Abunawas yang pada saat itu masih menjabat sebagai bupati Konawe melalaui Surat keputusan nomor 380 tahun 2012 tentang Pencabutan Izin Usaha Pertambangan Produksi yang di alamatkan untuk PT ST. Nickel Resources hingga kemudian keputusan tersebut mulai berlaku pada tanggal 16 Juni 2012.
Pasalnya, yang menjadi landasan pencabutan IUP Produksi ST Nickel bahwa telah terjadi tindakan pemalsuan surat Menteri Kehutanan dengan nomor S.186/MENHUT-VII/2009 terkait perihal permohonan penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan eksplorasi dan kegiatan eksploitasi tambang nikel kemudian di susul dengan dugaan melanggar ketentuan pasal 38 dan pasal 50 ayat (3) Huruf (g) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan dengan ancaman pidana penjara paling lama 10 tahun, dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,- (Lima Milyar Rupiah) yang di duga telah melaksanakan pertambangan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi yang berada dalam kawasan hutan.
Menguaknya Kebijakan Penerbitan IUP yang di Nilai Bentuk “Reinkarnasi” IUP
Pasca pergantian Kepemimpinan Bupati konawe, kini Bupati Kery Saiful Konggoasa menghidupkan kembali IUP PT. St Nickel Resources pada tahun 2014, kebijakan penghidupan IUP PT. ST. Nickel ini, penulis menduga inkonstitutional dalam mengeluarkan kebijakan surat keputusan bupati Nomor 224 tahun 2014 tentang perubahaan titik kordinat batas wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) Operasi Produksi PT. ST. Nickel Resources KW 09 OKP 001.
Pasalnya, jika di telisik berdasarkan regulasi mengenai SK bupati Nomor 224, menduga kian tidak sesuai dengan aturan main atau lebih tepatnya dalam penerbitan IUP tersebut tidak mempunyai landasan. Dimana, seharusnya dalam penerbitan IUP tersebut jika di lihat berdasarkan SK bupati yang di keluarkan, sebelumya IUP tersebut sudah di cabut oleh mantan Bupati Konawe Lukman Abunawas, penulis menduga setelah IUP tersebut di cabut, berjalanya waktu di dalam menerbitkan kembali IUP PT. ST Nickel Resources terlebih dahulu tidak dikembalikan ke pemerintah pusat, hingga keresahan penulis apakah pada saat IUP tersebut di hidupkan kembali sudah sesuai dengan mekanisme yang ada?
Karena jika diliat berdasarkan pada Pasal 30 Peraturan Pemerintah No. 23 tahun2010, diatur bahwa dalam jangka waktu paling lambat 5 hari kerja setelah penetapan pengumuman lelang, pemenang lelang WIUP mineral logam atau batubara harus memohonkan IUP eksplorasi kepada Menteri, gubernur, atau bupati. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, pemenang lelang WIUP akan dianggap gugur dan uang jaminan kesungguhan yang sebelumnya sudah disetor akan menjadi milik Pemerintah.
WIUP lalu akan ditawarkan kepada peserta lelang urutan berikutnya secara berjenjang dengan syarat nilai harga kompensasi data informasi sama dengan harga yang ditawarkan oleh pemenang pertama. Gubernur akan menyampaikan penerbitan peta WIUP mineral bukan logam dan/atau batuan yang dimohonkan, kepada bupati/walikota untuk mendapatkan rekomendasi dalam rangka penerbitan IUP eksplorasi.
Pemohon yang telah mendapatkan peta WIUP beserta batas dan koordinat harus menyampaikan permohonan IUP eksplorasi kepada yang berwenang, paling lambat 5 hari kerja setelah penerbitan peta tersebut. Jika hal tersebut tidak dilakukan, pemohon dianggap gugur dan uang pencadangan akan menjadi milik Negara dan WIUP menjadi wilayah terbuka.
Jika kemudian di Analasis berdasarkan regulasi Peraturan Pengganti Undang-Undang No 2 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Pemda) tak lagi bisa mengeluarkan Izin Tambang. Poin penting tersebut tertuang di lampiran UU No. 23/2014 atas pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerinah pusat, daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota.
Penjelasanya iyalah bahwa bupati dan walikota tidak lagi berwenang menetapkan wilayah usaha pertambangan (WIUP) serta izin usaha pertambangan (IUP) ke perusahaan. Kewenangan itu kini hanya dimiliki gubernur, dan pemerintah pusat.
Atas dasar itu penulis menduga bahwa aktivtas PT. ST. Nickel dari awal sudah terjadi Mall mekanisme dan Mall Administrasi dalam penghidupan kembali Izin Usaha Pertambangan.
Jika Pemerintah hari ini masih menjadikan Hukum sebagi Tonggak penegakan supremasi hukum maka Pihak Inspektor tambang bersama Aparat Penegak Hukum dalam hal ini Mapolda Sultra harus memeriksa apakah PT. ST. Nickel Resources sudah menjalankan aktivitasnya sesuai undang-undang atau sebaliknya.
Oleh : Julianto Jaya Perdana
Penulis Merupakan Wasekjend Jaringan Advokasi Masyarakat Indonesia