Klaim Berdampak Buruk, Djabir Tolak Pembangunan Perumahan di Tikonu

Proses pembangunan perumahan ASN lingkup Pemkab Kolaka, yang terletak di Desa Tikonu, Kecamatan Wundulako, ditolak pembangunannya oleh aktivis lingkungan Djabir Lahukuwi. (Marsidin Neno/Rakyatpostonline.com)

[responsivevoice_button voice=”Indonesian Male” buttontext=”Klick Bacakan Berita“]
Kolaka, Rakyatpostonline.com – Tolak pembangunan perumahan bagi ASN lingkup Pemkab Kolaka, di Desa Tikonu, rupanya akan terus disuarakan oleh aktivis Kolaka Djabir Lahukuwi. Pasalnya Ketua Forsda Sultra ini, menilai pembangunan perumahan tersebut, akan berdampak buruk bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat Kecamatan Wundulako.

“Saya akan terus menolak dan memprotes pembangunan perumahan BTN di Desa Tikonu, dan dalam waktu dekat ini kami akan gelar aksi,” tegas ketua Forsda Sultra, Djabir Lahukuwi saat ditemui media ini, Kamis (20/2/2020).

Penolakan tersebut, kata Djabir bukan tanpa alasan, sebab dirinya menilai jika hadirnya perumahan tersebut akan berdampak buruk bagi sosial dan budaya masyarakat Wundulako.

“Kenapa dari kemarin kita tolak, sejak akan dilakukan proses ganti rugi lahan, pada waktu itu masih jaman pak Buhari Matta. Namun karena ada oknum anggota dewan pada saat itu menggandeng camat Wundulako, untuk memaksakan agar lahan masyarakat segera diganti rugi. Padahal dari dulu itu kami sudah melakukan penolakan karena kasihan masyarakat yang akan terkena dampak hadirnya perumahan tersebut karena dilahan perumahan ada saluran irigasi yang pastinya limbahnya akan dibuang kesana, kemudian disitu ada situs leluhur kita yang jarak cukup dekat dengan lokasi perumahan,” katanya.

Seharusnya, lanjut Djabir, mereka (Pemda Kolaka) harus mengerti lahan tersebut dekat dengan situs leluhur kita, yang kedua lokasi tersebut ada saluran, saya tidak yakin bahwa pengembang akan membuat suatu tempat pembuangan limbah dan disalurkan ditempat lain, karena itu berbicara milyar harganya. Sehingga saya yakin air limbah warga akan turun langsung kesaluran air karena posisi saluran irigasi tepat berada dibawah lokasi perumahan, sehingga otomatis air limbahnya akan turun masuk kesaluran irigasi.

Dan yang paling parah karena di Tikonu, Silea, dan Kowioha itu sentral budaya kita. Apalagi ditata ruang itu tidak ada pengembangan BTN yang ada itu pengembang wisata termasuk perkebunan dan pertanian, kemudian Tikonu ini pernah akan dijadikan sebagai desa adat tapi kenapa tiba-tiba datang BTN itukan sudah tidak sesuai denagn tata ruang.

“Inilah yang kita protes karena siapa yang mau menjamin kalau misalnya berdiri BTN tidak berpengaruh terhadap situs, sosial budaya kita, karena saya yakin pasti terpengaruh. Contoh saja tidak usah terlalu jauh Lalomba dan Balandete sebelum berdiri BTN mereka masih punya kebun namun setelah berdiri BTN tiba-tiba mereka jual. Dan ini pasti akan terjadi diwilayah kita nanti,” jelasnya.

Menurutnya, saat ini sentral pertahanan budaya kita tinggal Tikonu, Silea, dan Kowioha yang lain sudah tidak ada. Kalau sudah berdiri BTN inikan orang yang akan menetap beda kalau pembangun yang lain yang tidak mendatangkan orang itu tidak akan berpengaruh tapi ini orang pasti akan bersosialisai apalagi orang luar pasti akan berpengaruh.

Tadinya Tikonu sosial budayanya sangat kuat ketika masuk BTN pasti akan terkikis, sehingga kita akan lakukan protes terus agar pemerintah sadar dan tidak melanjutkan pembangunan tersebut, kalau memang pemerintah perhatian. atas kebudayaan kita Mekongga ini bangunlah ekowisata untuk pengembangan wisata budaya, karena sangat tepat karena berdekatan langsung dengan situs budaya kita. Karena jika tidak dilakukan berarti seakan-akan pemerintah sengaja menghilangkan budaya kita, pelan-pelan dia menghilangkan budaya kita dan ada politik yang terbangun disini kalau saya liat pemerintah tidak mau kalau Mekongga besar sehingga dia bangunlah perumahan disitu supaya terkikis budaya kita.

“Memang ekstrim saya berpikir tapi ada benarnya, sekarang siapa yang akan menjamin jika tidak akan terkikis budaya kita, kemudian apa jaminannya. Inilah sebenarnya yang kita akan protes karena tidak ada yang jamin meskipun pak Jayadin sudah mengatakan bahwa dia siap jadi tumbal, tapi sesungguhnya kalau kita liat sekarang pelan-pelan pak Jayadin sudah menjadi tumbal, karena tumbal itu bukan berarti dia sakit atau mati, akan tetapi kalau kita lihat Jayadin sekarang sudah banyak yang protes atas kepemimpinannya,” bebernya.

Olehnya itu, kata Djabir kalau memang pemerintah daerah perhatian sesuai program prioritas Safei terkait budaya itu maka solusinya harus dibangun ekowisata, apalagi ada rencana pak Safei akan bangun kebun raya Kolaka kenapa tidak ditempatkan disana karena wilayahnya luas dan strategis. Ini sangat pas sekali karena situs budaya berkaitan dengan lingkungan, dibandingkan kalau perumahan BTN.

“Semoga saja bapak Safei merespon apa yang selama ini kami suarakan,” tutupnya. (eno).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *