[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”BacaTeks Berita“]
Konawe Utara, Rakyatpostonline.com – Menilik kebijakan dan pengawasan, pemerintah saat ini berdalih perusahaan ekstraktif sebagai sumber investasi demi kemajuan ekonomi masyarakat. Nyatanya, banyak tak terbukti, masyarakat justru makin sengsara. Belum lagi, dampak sosial industri ekstraktif terutama di sektor pertambangan, menyisakan trauma di masyarakat, hingga merugikan negara.
Koordinator Prisedium Kapitan Sultra, Asrul Rahmani mengatakan, aktivitas pertambangan di wilayah Sulawesi tenggara meningkat signifikan sejak berlakunya otonomi daerah atau disentralisasi hingga pemerintah pusat mengambil alih semua kepengurusan terkait pertambangan. Namun sistem pengawasan dalam pengelolaannya menjadi longgar.
“Sejumlah persoalan yang timbul karena tidak baiknya dalam sistem awal perizinan hingga lemahnya pengawasan dan penindakan dari penegakan hukum di sektor pertambangan. Hal ini memicu terjadinya persoalan administrasi maupun bentuk ilegal mining, diantaranya tumpang tindih lokasi tambang, hingga berkurangnya luasan kawasan hutan,” Ucap, Asrul Rahmani. Senin, (08/03/2021).
Tata kelola hutan dan lahan di negeri ini masih carut marut. Berbagai masalah muncul dari perizinan, tumpang tindih, deforestasi, hingga konflik-konflik sosial di masyarakat. Sektor ekstraktif penyumbang masalah ini salah satu tambang.
Dari hasil penelusuran serta investigasi Koalisi Aktivis Pemerhati Lingkungan dan Pertambangan Sulawesi Tenggara (Kapitan Sultra) mereview ada persoalan yang cukup serius yang mesti diselesaikan pemerintah Sultra dan penegak hukum. Yakni adanya dugaan Mal Administrasi maupun persoalan hukum dari aktivitas PT Bosowa Mining yang terletak di Desa Lameruru, Kecamatan Langgikima, Kabupaten Konawe Utara.
PT Bosowa Mining diduga telah melakukan aktivitas ilegal secara massif. Dan juga disinyalir telah merugikan pemerintah Provinsi Sultra dalam penerimaan pajak pertambangan.
“Diketahui, PT Bosowa Mining sebelumnya telah melakukan sistem pelaporan Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB) selama ini di wilayah Sultra untuk mendapatkan Kouta produksi dan penjualan, namun pada kenyataannya tidak dipergunakan secara prosedural,” Paparnya.
Selain itu, Asrul menambahkan, kegiatan PT Bosowa Mining tergolong unik namun meresahkan, aktivitas pertambangannya masuk pada wilayah teritorial Sultra, namun melakukan ikatan kerja sama dengan pemilik IUP diluar Sultra, bahkan menggunakan Kouta penjualan dari perusahaan tersebut. Parahnya, perusahaan ini memakai dokumen penjualan dan penggunaan jalan houling dan juga menggunakan Jeti Tersus milik perusahaan pertambangan Morowali yang masuk wilayah teritorial Sulawesi Tengah (Sulteng).
“Tentunya Praktek ini bentuk dugaan ilegal mining secara terstruktur, baik itu dari sisi administrasi. Mereka telah merugikan pemerintah Sultra, karena telah memproduksi tanah Sultra namun sisi pendapatan pajak tambang dilarikan ke provinsi tetangga. Aneh, gimana bentuk koordinasinya, lumayan tingkat tinggi,” Jelas, Asrul.
Kapitan Sultra mendesak pihak pemerintah provinsi sulawesi tenggara berkerjasama dengan penegak hukum dengan mengedepankan azas praduga tak bersalah, segera mengusut tuntas persoalan ini, agar tidak berlarut-larut.
“Jelas, kami akan melaporkan praktek ini ketingkat pusat, melalui surat resmi. Karena ini sudah sangat merugikan Sultra, khususnya dan negara pada umumnya,” Tutupnya. (**)