Kendari, Rakyatpostonline.com – Pertanyaan mendasar kembali menggema dari bibir masyarakat pesisir: Taman Nasional Laut Wakatobi ini sebenarnya untuk siapa? Di tengah gencarnya kampanye pelestarian dan konservasi, justru nelayan-nelayan lokal menjadi pihak yang paling merasakan dampaknya.
Nelayan Wakatobi, yang hidup sederhana dan menggantungkan hidup dari hasil laut untuk kebutuhan sehari-hari, kini harus berhadapan dengan regulasi ketat yang membatasi akses mereka terhadap ruang laut.
Mirisnya, di sisi lain, sejumlah korporasi besar, bahkan asing, telah bertahun-tahun mengeruk keuntungan pribadi dari kekayaan laut Wakatobi tanpa pengawasan yang ketat. Ketimpangan ini menimbulkan kecemasan, ketidakadilan, dan luka ekologis yang dirasakan langsung oleh masyarakat lokal.
Menanggapi hal tersebut, anggota Komisi III DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara, H. Abdul Halik, yang dikenal sebagai pegiat lingkungan sekaligus pembela hak-hak nelayan dan pulau-pulau kecil di Sultra, menyampaikan sikap tegasnya.
Abdul Halik menegaskan bahwa dalam konstitusi, Bumi dan Air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
“Kalau masyarakat Nelayan Wakatobi hari ini mendatangi Kantor Wakatobi Dive Resort (WDR), saya sarankan agar mereka menyampaikan tuntutan tegas,” ujar Halik. Senin (09/06/2025).
Pihaknyapun menyebut bahwa jika kehadiran perusahaan seperti WDR memang telah mengantongi izin pengelolaan laut secara komersial dari pemerintah, maka seharusnya ada saham rakyat Wakatobi dalam perusahaan tersebut.
“Kenapa ini penting? Karena kekayaan laut yang kita banggakan hingga dikenal dunia saat ini, adalah hasil dari kearifan lokal para leluhur kita di Wakatobi yang menjaga alamnya dengan bijak. Maka sudah sepatutnya anak cucu mereka juga mendapat bagian dari kekayaan itu,” tambahnya.
Pernyataan ini menjadi tamparan sekaligus seruan keadilan bagi semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya laut di Wakatobi. Sudah saatnya Negara benar-benar hadir untuk nelayan, bukan sekadar menjadi penjaga korporasi.
“Sebab, Taman Nasional tidak boleh menjadi ruang eksklusif bagi pemodal besar, tapi harus tetap menjadi ruang hidup yang adil dan berkelanjutan bagi rakyat yang telah lama menjadi penjaga sejatinya,” Pungkasnya. (**)
Laporan : Muh. Sahrul