Wakatobi, Rakyatpostonline.com – Pertanyaan mendasar kembali mencuat dari bibir masyarakat pesisir: Taman Nasional Laut Wakatobi ini sebenarnya untuk siapa? Di tengah gencarnya narasi pelestarian dan konservasi, nelayan-nelayan lokal justru kerap menjadi pihak yang paling terdampak atas pembatasan akses ruang laut.
Nelayan, yang selama ini hidup bersahaja dari hasil laut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, kini menghadapi banyak larangan dengan alasan menjaga kelestarian kawasan taman nasional.
Ironisnya, di sisi lain, sejumlah korporasi besar, bahkan asing, telah puluhan tahun mengeruk keuntungan pribadi dari kekayaan laut Wakatobi tanpa pembatasan yang berarti.
“Aktivitas eksploitasi laut dalam skala besar seperti pariwisata eksklusif, perikanan industri, dan bahkan aktivitas riset yang tidak transparan terus berlangsung, menimbulkan kesan bahwa pengelolaan taman nasional lebih berpihak pada modal daripada masyarakat adat dan lokal,” kata Dedi Ferianto, S.H., CMLC, Senin (09/06/2025).
Menurut lawyer asal Sultra ini, bahwa kondisi ini menimbulkan ketimpangan dan kecemburuan sosial. Nelayan tradisional yang telah hidup berdampingan dengan laut secara lestari selama berabad-abad, kini justru ditekan dan dijauhkan dari sumber penghidupannya sendiri.
“Sementara perusahaan-perusahaan besar mendapat karpet merah dengan dalih investasi dan pembangunan,” Jelasnya.
Sudah saatnya pemerintah, baik pusat maupun daerah, menjawab pertanyaan ini dengan keadilan: apakah taman nasional benar-benar untuk konservasi demi rakyat, atau hanya label hijau bagi kepentingan elite dan kapital asing?.
“Keadilan ekologis dan sosial harus berjalan seimbang, agar keberadaan taman nasional tidak menjadi alat penyingkiran masyarakat lokal dari tanah dan laut yang selama ini mereka rawat dengan kearifan,” Pungkasnya.
(**)
Laporan : Muh. Sahrul