Konawe Kepulauan, Rakyatpostonline.com – Meski telah dinyatakan ilegal oleh putusan Mahkamah Agung dan diduga menyebabkan kerugian negara hingga Rp276 triliun, PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak usaha Harita Group, tetap melanjutkan aktivitas penambangan di Pulau Wawonii.
Keberlanjutan operasi GKP ini menjadi sorotan tajam dari berbagai organisasi masyarakat sipil seperti Jatam, TAPaK, hingga WALHI Sultra.
Pihak perusahaan berdalih bahwa kegiatan mereka sah secara hukum karena memiliki dokumen perizinan lengkap, mulai dari Izin Usaha Pertambangan (IUP), Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), hingga Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
Hendry Drajat, Manager Strategic Communication PT GKP, mengklaim bahwa semua izin tersebut diterbitkan secara resmi melalui proses yang berjenjang, baik dari pemerintah daerah maupun pusat.
Selain itu, perusahaan menyatakan telah memenuhi kewajiban seperti pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan menjalankan operasional sesuai prinsip good mining practice.
Namun, pernyataan tersebut dinilai kontradiktif dengan fakta di lapangan. Mahkamah Agung sebelumnya telah membatalkan IPPKH GKP dan menegaskan bahwa wilayah Konawe Kepulauan bebas dari alokasi tambang.
Meskipun begitu, hingga Mei 2025 tercatat sudah 116 kapal tongkang mengangkut sekitar 928.000 ton nikel dari kawasan tambang yang disebut ilegal, dengan nilai kerugian negara diperkirakan mencapai Rp261 hingga Rp276 triliun, berdasarkan harga acuan global.
Kritik terhadap GKP makin menguat setelah Pemkab Konawe Kepulauan sempat menutup akses jalan hauling tambang, namun akses itu kembali dibuka secara paksa oleh pihak perusahaan. Tindakan ini dianggap sebagai pembangkangan terhadap kewenangan negara dan bentuk pelemahan hukum di daerah.
Walhi Sultra juga menyoroti pemberian penghargaan Proper Biru kepada GKP oleh KLHK, yang dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak masyarakat.
Mereka menilai penilaian administratif semata tidak mencerminkan dampak nyata dari operasi tambang yang menyebabkan deforestasi besar-besaran, pencemaran air, dan hilangnya mata pencaharian warga.
Dalam konteks ini, keberlanjutan operasi PT GKP bukan hanya soal kelengkapan dokumen formal, melainkan juga soal lemahnya pengawasan, dugaan perlindungan dari oknum lembaga negara, serta tidak sinkronnya antara putusan hukum dengan tindakan di lapangan.
Desakan agar Kejaksaan Agung segera bertindak untuk mengusut tuntas kasus ini menjadi sorotan penting agar supremasi hukum dan keadilan lingkungan dapat ditegakkan. (**)
Laporan : Muh. Sahrul