Peran Perempuan Dalam Politik

Riska

[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Baca Teks Berita“]

Rakyatpostonline.com – Tidak ternafikkan bahwa terjadi pertentangan pada sebagian pemikir mengenai peran perempuan dalam politik. Sebagian besar pertentangan ini berputar pada alasan pengelolaan rumah tangga dan sifat alamiah perempuan.

Terkadang mereka memiliki pandangan dengan bertolak pada sejarah, artinya sejarah memperlihatkan bahwa perempuan tidak terlibat dalam politik.

Menggunakan sejarah sebagai alasan penolakan terhadap keterlibatan perempuan dalam politik adalah alasan yang lemah. Sebab, dalam sejarah Islam, Sayyidah Fatimah sangat membantu untuk menolak anggapan tersebut. Sejarah kehidupan Fatimah menjadi saksi akan keterlibatan perempuan dalam politik, sehingga penolakan di atas tidak memiliki landasan yang jelas.

Pengelolaan rumah tangga bukan merupakan sifat alamiah perempuan. Sebagian yang berbeda pendapat mengenai keterlibatan perempuan dalam politik, mereka mengangkat alasan bahwa perempuan sebaiknya di dalam rumah saja. Ada juga yang menggunakan sifat alamiah sebagai penolakan mereka bahwa sifat alamiah perempuan adalah tidak adanya potensi untuk terlibat dalam politik.

Persoalan apakah satu sama lainnya berhubungan, pastilah memiliki suatu hubungan. Ada akibat yang berdampak dan diterima oleh masing-masing.

Dalam pengelolaan rumah tangga, jika hal ini dilakukan dengan baik, dalam artian itu dilihat sebagai konteks pendidikan, maka hal ini berefek pada kualitas generasi. Dalam proses mendidik inilah salah satu peran perempuan dalam memberikan konsep maupun praktek dalam politik.

Jika pengelolaan rumah tangga dilihat sebagai satu unit bagian dari sistem sosial, aktivitas perempuan didalamnya akan memiliki akibat yang besar terhadap politik. Sehingga kita bisa melihat hubungannya satu sama lain.

Jika ruang keluarga dilihat secara teliti, akan mengantarkan pada suatu pahaman bahwa keluarga adalah lembaga pertama dalam memulai pendidikan. Sehingga, pendidikan dalam keluarga akan menciptakan generasi yang berkualitas. Peran ini sangat menonjol pada diri perempuan.

Dalam perannya tersebut, perempuan akan menyalurkan cinta dan kasih sayang terhadap generasi. Hal ini akan merubah arah masyarakat dan politik. Ini akan menjadikan praktek politik dengan landasan cinta orientasi kemanusiaan.

Keluarga sangat ditekankan untuk menghidupkan nilai-nilai tersebut. Perempuan sebagai individu yang bertanggung jawab didalamnya harus mampu menghidupkannya. Jika lembaga keluarga mengalami keretakan dan kehilangan cinta, serta kasih sayang akan menimbulkan dampak negatif terhadap seluruh elemen masyarakat.

Dua poin penting inilah yakni cinta dan kasih sayang yang harus diperhatikan bagi perempuan dalam perannya di keluarga dan arena politik.

Kehilangan cinta dan kasih sayang dalam praktek politik akan menyebabkan terjadinya kezaliman. Inilah yang terjadi saat ini dalam praktek politik. Politik membutuhkan perempuan dalam artian untuk mengembalikan cinta dan kasih sayang yang telah lama hilang dalam prakteknya.

Kebutuhan ini adalah kebutuhan yang sangat mendasar. Tak heran, jika kita mengatakan bahwa peran perempuan adalah peran mendasar dalam politik.

Bisa dilihat, bagaimana suatu masyarakat jika antara anggota dalam aktivitasnya tidak terdapat cinta dan kasih sayang, maka masyarakat tersebut akan jatuh dalam kehinaan serta kehilangan nilai-nilai kemanusiaan didalamnya.

Selain hal ini, akan tercipta suatu generasi yang tidak berguna bagi masyarakat. Untuk menghindari hal-hal seperti ini, kita membutuhkan peran sosok perempuan. Dalam kecenderungannya, perempuan mampu memainkan peran ini.

Inilah peran yang dilakukan oleh perempuan dalam politik yakni menciptakan generasi yang bermanfaat, menghidupkan cinta dan kasih sayang dalam praktek politik, dan mengorientasikan politik pada nilai-nilai kemanusiaan. Kita juga bisa melihat, keterkaitan antara pengelolaan rumah tangga dan politik yang dilakukan oleh perempuan.

Perempuan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kemanusiaan, memiliki potensi yang besar untuk memberikan kontribusi dalam politik. Menafikkan keterlibatannya sama halnya menafikkan kemanusiaan.

Maka harus diterima sebagai suatu fakta akan potensi perempuan dalam politik. Peran perempuan dalam politik salah satunya adalah peran kemanusiaan. Politik membutuhkan perempuan sebagai pendidik untuk melawan kezaliman.

Hal telah diperlihatkan oleh Sayyidah Zainab. Pidato Zainab di Istana Yazid, salah satunya bermakna politik. Ia memperlihatkan kepada kita akan kezaliman yang terjadi. Perempuan saat ini membutuhkan figur seperti Sayyidah Fathimah dan Sayyidah Zainab dalam praktek politiknya.

Mengkaji sejarah hidup mereka (Sayyidah Fatimah dan Sayyidah Zainab) dapat membantu kita untuk memperoleh pandangan yang universal mengenai peran perempuan dalam ranah politik.

Kita tidak bisa menghindari akan munculnya suatu pertanyaan yakni: Pentingkah perempuan terlibat dalam politik? Jikalau benar, apa saja kepentingan serta peran perempuan dalam politik? Sebelum itu kita perlu mengetahui terlebih dahulu mengenai politik dan perempuan itu sendiri.

Secara umum politik pada dasarnya merupakan suatu fenomena yang sangat berkaitan dengan manusia yang pada kodratnya selalu hidup bermasyarakat. Manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang dinamis dan berkembang, serta selalu menyesuaikan keadaan sekitarnya.

Adapun Filsuf Timur yang merupakan seorang konseptor sekaligus aktor politik Revolusi Iran, Imam Khomeini, dalam memaknai politik secara umum dalam buku Dinamika Pemikiran Politik Imam Khomeini oleh Akbar Najaf Lakza’i (2010: 20) mengemukakan politik adalah hubungan antara rezim dan rakyat, hubungan antara rezim dengan pemerintahan yang lain dan mencegah berbagai penyelewengan.

Selanjutnya dalam buku yang sama (hal. 14-16) Imam Khomeini mengklasifikasi politik dalam dua paradigma yakni kekuasaan dan hidayah. Dalam paradigma kekuasaan tujuan pemerintah adalah duniawi, sementara dalam paradigma hidayah tujuan utama pemerintah adalah ukhrawi (akhirat).

Pertama dalam paradigma kekuasaan, memandang dunia sebagai tujuan utama dan yang kedua (paradigma hidayah) menempatkan dunia sebagai persinggahan untuk mencapai tujuan tertinggi, yakni ukhrawi.

Paradigma hidayah dapat didefinisikan sebagai upaya komunitas manusia untuk menegakkan hukum atuhan di muka bumi, di bawah kepemimpinan para nabi atau penerus nabi (washiy) untuk mendapat kebahagiaan tertinggi. Sedangkan perempuan berasal dari kata per-empu-an yang memiliki arti ahli atau mampu.

Adalah suatu kebutuhan yang pasti untuk melihat kembali peran perempuan dalam arena politik bahwa perempuan sangat berperan didalamnya. Dalam lingkungan masyarakat pun, kontribusi perempuan dalam politik harus dilihat sebagaimana sifat alamiah perempuan.

Disisi lain, setiap aktivitas perempuan di masyarakat harus didasarkan pada kehendak bebas dan sadar. Berdasarkan hal ini, perempuan memiliki itu. Artinya, seorang perempuan memiliki kehendak bebas serta sadar dalam setiap aktivitasnya. Hal ini akan menciptakan suatu masyarakat beradab yang akan terwujud ketika kita menerima peran perempuan, dalam mengatur dan mengorganisasikan hal-hal yang terdapat dalam masyarakat.

Bertolak dari ini, maka kita mampu memahami peran perempuan dalam politik yakni sebagai suatu kehendak bebas setiap individu, untuk beraktivitas sehingga bisa tercapai tujuan bersama.

Jika politik diartikan sebagai kekuasaan, maka peran perempuan adalah terciptanya kekuasaan dengan landasan nilai-nilai kemanusiaan. Pada tingkat lain, hal ini juga bisa dicapai dengan melalui legislatif dan adiministrasi. Perempuan yang terlibat dalam politik mampu memberikan persetujuan atau kritik terhadap setiap kebijakan.

Berdasarkan hukum syariat pun perempuan tidak tertolak bahwa ia memiliki peran yang sangat besar. Sejauh ini perempuan memiliki hak untuk berpartisipasi dalam ruang politik. Perempuan bebas menyalurkan pandangannya dalam bentuk setuju atau kritik terhadap setiap kebijakan pemerintah.

Tapi yang menjadi persoalan perempuan di arena politik dari dulu hingga kini adalah sistem patriarki yang masih kental, di mana patriarki itu sendiri merupakan sistem yang memihak pada dominasi laki-laki.

Menurut kaum feminis radikal, hal itu merupakan penyebab ketidakadilan gender dan berakibat buruk pada realitas kehidupan perempuan di beragam faktor kehidupan mereka.

Menurut A. Nunuk Murniati (2004), pemahaman tersebut membawa implikasi, lahirnya kelompok dominan yang kemudian diteguhkan oleh budaya, agama dan politik, sehingga tidak tergoyahkan.

Peneguhan yang berlangsung juga didukung oleh struktur sosial dan budaya. Mendukung konsep tersebut, Saidah dan Khatimah (2003) mengungkapkan bahwa gejala ketidakadilan tersebut dapat dilihat melalui fenomena dengan menggunakan terminologi ketimpangan, ketidakadilan dan disparasitas gender.

Keadaan ini pula yang telah menyebabkan terciptanya stereotip, marginalisasi, subordinasi, serta kekerasan atas perempuan yang menjadi asas terbangunnya mekanisme kontrol patriarki di masyarakat, dalam semua aspek kehidupan.

Kontrol patriarki ini telah mengakibatkan pembatasan dan pemilahan ruang bagi perempuan dan laki-laki. Perempuan sebagai anggota masyarakat dan budaya tertentu yang dikontrol, lalu diselaraskan dengan aktivitas kawasan domestik (rumah tangga), sedangkan laki-laki didentikkan dengan aktivitas ruang publik.

Kontrol inilah yang kemudian sangat mendiskreditkan aktivitas publik, termasuk aktivitas politik perempuan sehingga diskriminasi terhadap peran politik perempuan muncul. Diskriminasi tersebut sangat kuat memengaruhi dinamika politik yang berlangsung hingga saat ini.

Mengubah suatu konstruksi budaya memang tidaklah mudah, baik pada tataran wacana maupun praktis. Kendati demikian, hal itu tidak lalu berarti bahwa upaya ke arah perubahan tidak bisa dilakukan, bahkan menjadi semakin mendesak untuk memperjuangkan norma-norma hukum dan kebijakan yang lebih membela perempuan (sensitif gender).

Perjuangan ini diharapkan bisa membuat kondisi perempuan, secara perlahan dan pasti berubah menjadi lebih baik, terutama di ruang politik, sehingga tidak tertinggal jauh dengan laki-laki.

Dengan dilakukan secara terus menerus, mengupayakan jumlah keterwakilan perempuan di parlemen, meningkat sehingga mencapai jumlah dan kualitas yang memadai dalam setiap komisi. Peningkatan kuantitas yang juga dibarengi dengan kualitas tersebut, diharapkan juga mampu mewarnai perilaku politik para anggota legislatif laki- laki.

Keterwakilan yang proporsional, bakal mendukung proses perjuangan isu-isu perempuan, lebih berhasil direalisasikan dan sekaligus representasi, dari sistem demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia.

“Perempuan berada di tempat di mana banyak keputusan dibuat, perempuan bukan seharusnya menjadi pengecualian.” Ruth Bader Ginsburg. (**)

Oleh : Riska
Penulis saat ini sebagai Sekretaris Bidang Dana dan Usaha MPM Ulul-Albaab Fisip UHO, Anggota HMI Komisariat Pertanian UHO, Anggota Forum Kajian Politik dan Mahasiswa Ilmu Politik UHO.


 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *