Wakatobi, Rakyatpostonline.com – Perjuangan panjang nelayan lokal Kecamatan Tomia, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) akhirnya membuahkan hasil.
Setelah hampir tiga dekade mengalami pembatasan akses ruang kelola laut oleh perusahaan asing PT Wakatobi Dive Resort (WDR), para nelayan kini memperoleh kembali hak tradisional mereka untuk menangkap ikan secara berkelanjutan di perairan sendiri.
Melalui jalur hukum yang ditempuh bersama kuasa hukum Dedi Ferianto, S.H., para nelayan berhasil mencapai kesepakatan tertulis dengan pihak perusahaan.
Kesepakatan tersebut dituangkan dalam berita acara bersama dan disaksikan langsung oleh perwakilan Balai Taman Nasional Wakatobi, Kepolisian, dan TNI, sebagai bentuk pengakuan sah terhadap tuntutan masyarakat lokal.
Poin-Poin Kesepakatan:
- Penghentian Patroli Pengusiran Nelayan
- Kegiatan patroli laut oleh PT WDR yang selama ini kerap mengusir nelayan lokal resmi dihentikan hingga dilakukan sosialisasi menyeluruh kepada masyarakat di seluruh desa terkait zonasi Taman Nasional Laut Wakatobi.
- Pemberhentian Karyawan Perusak Terumbu Karang
- PT WDR menyatakan akan memecat karyawan yang terbukti terlibat dalam tindakan perusakan terumbu karang.
- Penghentian Pelarangan Aktivitas Penangkapan Tradisional
- Perusahaan menghentikan segala bentuk pelarangan terhadap aktivitas nelayan tradisional yang ramah lingkungan, selama dilakukan di zona yang telah ditetapkan.
- Penghentian Pembelian Pasir dari Aktivitas Tambang Ilegal
- PT WDR juga sepakat menghentikan pembelian pasir laut yang ditambang secara ilegal di dalam kawasan konservasi.
Kemenangan Hukum dan Lingkungan
Menurut Dedi Ferianto, kesepakatan ini merupakan kemenangan kecil namun penting bagi masyarakat pesisir yang selama ini dipinggirkan oleh aktivitas bisnis komersial yang melanggar hak-hak konstitusional nelayan.
“Ini adalah titik terang atas 29 tahun pembatasan ruang hidup masyarakat nelayan. Mereka hanya menuntut hak dasar mereka untuk mencari nafkah tanpa intimidasi, dan sekarang sudah tercapai,” ujar Dedi.
Tak hanya itu, berita acara tersebut juga mencatat pengakuan eksplisit dari pihak perusahaan atas tindakan pelanggaran lingkungan, termasuk perusakan terumbu karang dan eksploitasi pasir laut secara ilegal yang berdampak langsung pada ekosistem Taman Nasional Laut Wakatobi.
Desakan Penegakan Hukum
Dedi menegaskan bahwa meskipun kesepakatan sudah dicapai, tindakan penegakan hukum tetap diperlukan untuk memberikan efek jera.
“Pengakuan pelanggaran lingkungan ini harus ditindaklanjuti dengan proses hukum baik secara administratif maupun pidana. Negara harus hadir menegakkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan peraturan konservasi lainnya,” tegasnya.
Kesepakatan ini diharapkan menjadi preseden penting bagi perlindungan hak-hak masyarakat pesisir di kawasan konservasi lainnya di Indonesia, sekaligus pengingat bahwa konservasi sejati tidak boleh menyingkirkan masyarakat adat dan nelayan tradisional dari ruang hidupnya.
Laporan : Muh. Sahrul