367 IUP Tambang, 16 PSN, dan Ratusan Izin Perkebunan Jadi Bom Waktu Ekologis di Sultra

Direktur Pusat Kajian dan Advokasi Hak Asasi Manusia (PuSPAHAM) Sultra, Kisran Makati.

Kendari, Rakyatpostonline.com – Sulawesi Tenggara saat ini menghadapi krisis tata ruang yang serius. Dengan 367 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang masih aktif, 16 Proyek Strategis Nasional (PSN) di sektor industri ekstraktif, serta ratusan izin perkebunan yang terus meluas, wilayah ini ibarat bom waktu ekologis yang siap meledak.

Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sultra yang kini tengah dibahas, dituding menjadi pintu masuk legal bagi ekspansi industri-industri besar yang selama ini terbukti menciptakan kerusakan lingkungan dan mengabaikan keberlanjutan hidup masyarakat lokal.

Hal itu terlihat dalam dokumen dan peta revisi RTRW terbaru yang tengah disusun. Direktur Pusat Kajian dan Advokasi Hak Asasi Manusia (PuSPAHAM) Sultra, Kisran Makati, menyatakan bahwa perluasan izin tambang nikel di dua pulau tersebut jelas-jelas melanggar hukum, khususnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

“Kegiatan tambang di pulau kecil bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga mengancam kelestarian ekosistem pesisir, sumber air, serta ruang hidup masyarakat yang terbatas. Revisi RTRW ini justru seperti memberikan legitimasi terhadap pelanggaran-pelanggaran itu,” tegas Kisran, Selasa (10/06/2025).

PuSPAHAM menilai, revisi ini merupakan bentuk legalisasi kerusakan lingkungan yang selama ini terjadi akibat industri tambang nikel skala besar. Industri pertambangan dan perkebunan skala besar telah meninggalkan jejak kehancuran yang nyata.

Baca Juga :  Korupsi dan Tata Kelola Ruang Jadi Akar Masalah Pertambangan di Blok Mandiodo

Di berbagai wilayah seperti Morosi, Kapoiala, dan Pomalaa, pencemaran sungai, hilangnya sumber air bersih, dan rusaknya lahan pertanian menjadi bukti bahwa investasi yang digadang-gadang sebagai pembangunan justru menciptakan penderitaan.

Baca Juga :  Besok, PUSPAHAM Sultra Diskusi Multipihak Pemulihan Wilayah Terdampak Tambang di Konut

Di Pulau Wawonii dan Kabaena, keberadaan tambang di pulau kecil bukan hanya melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, tetapi juga mengancam ruang hidup masyarakat yang sangat terbatas.

“Peta revisi RTRW yang beredar menunjukkan upaya sistematis untuk mengubah kawasan lindung menjadi zona industri dan pertambangan. Ini menunjukkan arah pembangunan yang berpihak pada kepentingan modal, bukan pada rakyat,” Tegasnya.

Ketika hutan lindung dijadikan target investasi, pesisir dijadikan pelabuhan tambang, dan daerah tangkapan air dijadikan kawasan industri, maka yang terjadi bukan lagi sekadar degradasi lingkungan, melainkan krisis ekologis menyeluruh yang menyasar keberlangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya.

Baca Juga :  Apresiasi Ketegasan Bupati Konawe Selatan Hentikan Aktivitas PT Marketindo Selaras

“Jika revisi RTRW ini tetap disahkan tanpa koreksi substansial, Sulawesi Tenggara tidak hanya akan kehilangan benteng ekologisnya, tetapi juga akan memanen konflik sosial, krisis air bersih, dan ketergantungan ekonomi pada sektor ekstraktif yang tidak berkelanjutan,” Pungkas Kisran.

Maka benar adanya, 367 IUP tambang, 16 PSN, dan ratusan izin perkebunan bukanlah angka semata, melainkan bom waktu ekologis yang mengancam masa depan Sultra dan generasi mendatang. (**)


Laporan : Muh. Sahrul

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Hubungi Admin!