Konawe Utara, Rakyatpostonline.com – Jika ada medali untuk janji yang paling tahan lama tanpa realisasi, mungkin PT Daka pantas masuk nominasi.
Sejak Mei 2019, perusahaan tambang ini dengan percaya diri mengumbar komitmen: akan membangun sekolah baru bagi siswa SD Negeri 3 Lasolo Kepulauan (Laskep), lengkap dengan enam ruang kelas, perpustakaan, hingga ruang guru.
Namun, hingga Juli 2025, yang berdiri kokoh justru tumpukan debu, lumpur, dan kebisingan tambang, bukan gedung sekolah yang dijanjikan.
Realita yang terjadi hari ini bukan hanya soal fasilitas belajar yang mangkrak. Ini tentang masa depan anak-anak yang digadaikan pada janji yang tak kunjung ditepati.
Dan akhirnya, setelah bertahun-tahun “diam seribu batu”, DPRD Konawe Utara pun angkat bicara dengan suara lantang.
Senin, 21 Juli 2025, ruang rapat DPRD Konawe Utara berubah menjadi ruang “hearing” yang lebih mirip ruang interogasi moral.
Ketua Komisi III DPRD Konut, Samir, S.Ip., M.Si, memimpin Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama PT Daka, Dinas Pendidikan Konut, Kepala Desa Boedingi, Kepala SDN 3 Laskep, dan unsur lainnya.
Tak ada Basa-basi. Samir langsung menyentil tajam:
“Sejak 2019 kalian janji, tapi sekolah tetap di tempat yang sama di bawah bayang-bayang tambang, di atas genangan lumpur, di antara desingan dump truck. Apa manfaat perusahaan ini untuk daerah selain debu dan kegelisahan?” tegas Samir dengan nada yang lebih mirip vonis.
Ia bahkan menyebut bahwa PT Daka secara moral telah “merampok kekayaan negara dan mengabaikan pendidikan anak-anak.”
Sementara itu, Kepala Desa Boedingi, Aksar, mencoba bersuara di tengah kepulan kritik.
“Material sudah ada. Tempat juga sudah kami siapkan. Tinggal tunggu arahan Dinas Pendidikan,” katanya. Kalimat yang mungkin terdengar familiar, karena sudah diulang sejak zaman 4G baru populer.
Namun di balik nada optimisme Aksar, tampak nada frustrasi yang mulai menyeruak.
“Saya sudah sampaikan ke HRD PT Daka. Semoga kali ini didengar, bukan cuma dicatat,” katanya, menyelipkan harapan dalam ketegasan. Harapan yang, jika boleh jujur, sudah mulai terasa lelah.
Realitas di lapangan menyakitkan. Siswa-siswa SDN 3 Laskep masih belajar di bangunan tua yang terancam longsor lumpur saat hujan dan diselimuti debu tambang saat kemarau.
Suara jetty, klakson dump truck, dan aktivitas bongkar muat nikel menjadi musik latar setiap pelajaran.
Aktivis lingkungan Jeje dari P3D Konut bahkan menyebut bahwa ini bukan sekadar soal infrastruktur.
“Ini sudah menyentuh hak dasar manusia. Kalau anak-anak belajar dalam polusi dan bising tambang, apakah itu masih bisa disebut sekolah?” katanya geram.
Dalam penutup RDP, DPRD memberi sinyal keras. Jika relokasi sekolah tak juga dimulai dalam waktu dekat, Komisi III tak segan-segan merekomendasikan penghentian aktivitas PT Daka, atau membawa persoalan ini ke ranah hukum.
“Kesabaran masyarakat sudah habis. Jangan uji daya tahan kami,” tegas Samir.
Sementara itu, dari pihak PT Daka, yang hadir hanya perwakilan teknis, bukan pengambil keputusan utama. Sebuah detail yang membuat suasana RDP kian panas.
Catatan Redaksi :
Terkadang, yang dibutuhkan sebuah daerah bukanlah sekadar investasi dan aktivitas ekonomi, tetapi empati, tanggung jawab, dan keberanian untuk menepati janji.
Karena jika pendidikan terus dikhianati, jangan salahkan sejarah jika kelak perusahaan seperti PT Daka hanya diingat sebagai contoh buruk, bukan mitra pembangunan.
Sampai berita ini ditayangkan, RDP masih berlangsung dan publik masih menunggu: apakah kali ini hanya catatan, atau benar-benar didengar. (**)
Laporan : Syaifuddin