Sembako Meroket ‘Jembatan Bailey’ Jangan Sebatas Ekspektasi, Rakyat Butuh Realitas

Anggota DPRD Konawe Utara, Fendrik, S.Kom (Kanan), dan Kondisi Banjir Jalan Trans Sulawesi di Desa Sambandete, Kecamatan Oheo, Konawe Utara (Konut).

Konawe Utara, Rakyatpostonline.com – Kondisi darurat yang melanda ruas jalan trans Sulawesi di Desa Sambandete, Kecamatan Oheo, Kabupaten Konawe Utara (Konut), akibat banjir yang tak kunjung surut, telah menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang kian mengkhawatirkan.

Hingga saat ini, Jembatan Bailey yang dijanjikan sebagai solusi akses darurat masih belum juga terbangun. Keadaan ini mengundang reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk anggota DPRD Konawe Utara, Fendrik, S.Kom., dari Fraksi Partai Bulan Bintang (PBB) Konut.

Fendrik menyayangkan lambannya respons pembangunan jembatan darurat tersebut. Menurutnya, situasi darurat harus ditangani secara cepat dan taktis, bukan dengan pendekatan biasa yang menunggu kondisi air surut dan berlarut-larut. Sampai kapan?.

“Banyak pihak mempertanyakan mengapa teknik pengecoran dalam air tidak digunakan, seperti halnya proyek di laut. Jangan sampai rakyat berpikir bahwa Jembatan Bailey hanya sebatas ekspektasi, sementara rakyat butuh realitas di lapangan dalam kondisi genting dan darurat,” tegasnya. Minggu (20/04/2025).

Lebih lanjut, Fendrik juga menyoroti dampak ekonomi yang ditimbulkan dari terputusnya jalur utama ini. Harga sembako melonjak tajam, sementara biaya penyeberangan darurat menggunakan rakit pincara justru sebagian besar memberatkan warga.

Baca Juga :  Rp60 Miliar Jalan Sambandete Disetujui, Ridwan Bae: Efisiensi Tak Melebihi Urgensi

Keluhan terus berdatangan dari masyarakat yang mengandalkan jalur tersebut untuk aktivitas ekonomi sehari-hari, mulai dari karyawan pekerja tambang hingga pedagang kecil, atau Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

Baca Juga :  Rogok Kocek Dalam-dalam, ini Cerita Keluhan Warga Tarif Mahal di Sambandete

Data yang dikumpulkan media ini, bahwa Lurah Linomoiyo, Endang, mengungkapkan, hingga kini yang terdata oleh pemerintah terdapat 27 rakit pincara mobil dan 67 rakit pincara motor yang beroperasi selama 24 jam.

Berdasarkan estimasi maksimal, satu pincara mobil dapat meraup pendapatan sekitar Rp8 juta per hari atau 24 jam, sementara pincara motor sekitar Rp2 juta per hari atau 24 jam. Jika dijumlahkan, potensi perputaran uang dari jasa penyeberangan ini mencapai Rp350 juta per hari atau sekitar Rp12 miliar selama 35 hari masa darurat (saat ini red).

“Data tersebut menjadi gambaran nyata betapa mahalnya harga yang harus dibayar masyarakat di tengah lambatnya pembangunan infrastruktur darurat di Sambandete, Konawe Utara,” Tegas Fendrik.

Untuk itu, Fendrik mendesak Pemerintah Provinsi maupun Pusat agar lebih proaktif menggenggam tangan satu sama lain, terhadap kondisi ini. Masyarakat berharap adanya langkah konkret yang segera direalisasikan demi kepentingan publik, bukan sekadar janji di atas kertas.

“Kami sebagai perwakilan rakyat di Bumi Oheo, mengantungkan harapan tersirat maupun tersurat. Janji dan derita rakyat saat ini di Sambandete belum surut. Begitupula air pantang surut selama kiriman dari routa sebagai Hulu sungai Lalindu tak bisa lagi disiratkan,” Pungkas Fendrik. (**)


Laporan : Muh. Sahrul

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Hubungi Admin!