Pemilu Demokratis dalam Tinjauan Partisipasi Kelompok Sosial

Opini oleh: Asrun Sani, S.Sos.,M.Si
Staf ASN Bappeda Kabupaten Konawe Utara


Konawe Utara, Rakyatpostonline.Com – Peran serta masyarakat dalam wujud partisipasi demokrasi adalah adanya keterlibatan semua komponen sipil society atau masyarakat sipil yang turut serta dalam mengambil posisi, sesuai kadar tipologi dan bait-bait madrasah kepentingan.

Masyarakat atau kelompok yang tidak terlibat secara struktur, mempunyai keinginan bersama dalam menciptakan pemilu demokratis, jangan ada kesan bahwa kelompok marjinal, penyandang disabilitas, kelompok adat dan kelompok sosial lainnya tidak terpenuhi hak-haknya sebagai warga negara.

Oleh karenanya, kelompok atau masyarakat bebas  ini mempunyai keinginan dan suasana kebatinan yang seragam, untuk menyukseskan Pemilu yang demokratis tersebut dalam dimensi partisipatif.

Komponen sipil society atau masyarakat sipil atau dengan kata lain kelompok marjinal adalah sesuatu kesatuan yang utuh, terbukanya ruang untuk melihat adanya kesempatan aktif, tentu elemen yang berperan penting menyiapkan menu di segmen mana kelompok tersebut dapat mengurai keterlibatan yang di maksud.

Sehingga dengan itu, polarisasi Pemilu demokratis tidak hanya di lekatkan pada penyelenggara pemilu, mulai KPU, Bawaslu, dan DKPP. Ketiga lembaga tersebut harus duduk bersanding, membangun persamaan konsep dan gagasan ditengah  perbedaan struktur masyarakat etnis, agama, budaya serta latar belakang masing-masing individu.

Partisipasi kelompok sosial sedapat mungkin memfasilitasi, membentuk Pemilu demokratis, bukan hanya di kelompokkan sebagai penggunaan hak politik yang sama, jujur, adil langsung, umum, bebas, dan rahasia, tetapi pengarustamaan partisipasi adalah hal yang subtantif dalam demokrasi.

Oleh sebab itu, dalam menciptakan Pemilu yang demokratis pemanfaatan, pemberdayaan dan pengornisasian kelompok sosial, menjadi kata kunci (keyword is) dalam melahirkan pemilu demokratis ‘give birt to democratic election’.

Dari padangan penulis, dapat ditentukan klasifikasi dan kluster elemen kelompok sosial masyarakat, diuraikan untuk mendukung siklus partisipasi Pemilu demokratis dalam  meningkatkan angka partisipasi pemilih Sulawesi Tenggara (Sultra) kedepan.

Tingkat partisipasi pemilih di Provinsi Sultra pada Pemilu 2019, mengalami kenaikan  mencapai 79,33 persen, melampaui dari target nasional yaitu 77,5 persen sebagimana angka (DPT) pemilih berjumlah 1.723.639 jiwa, berarti masih tersisah 21 persen yang tidak menyalurkan hak pilihnya.

Oleh karenanya, bukan saja bertambah dari segi kuantitas tetapi kualitas demokrasi juga menjadi target dan fokus kajian kita bersama, sehingga dalam kerangka sudut padang, penulis menyampaikan beberapa hal sebagai indikator-indikator pendukung dalam mencapai Pemilu yang demokratis dan tinjauan partisipasi sosial yang berkualitas dan berdaya saing, diantaranya adalah :

1. Kelompok Masyarakat Adat
Kelompok masyarakat adat adalah suatu kelompok sosial yang sifatnya permanen. Selain memiliki kepastian hak memilih dan dipilih, maka kelompok adat dapat mengambil posisi penting untuk berpartisipasi dalam mewujudkan pemilu demogratis.

Kita ketahui bahwa kelompok sosial masyarakat adat adalah suatu komunitas kelompok yang telah terbentuk pranata sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang harus dihormati dan junjung tingi sebagai media untuk menghubungkan adanya asas kepatutan dan asas berkepatian hukum.

Pada akhir-akhir ini, kelompok adat sering absen dalam momen politik, bahkan cenderung hanya dijadikan sebagai alat politik untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Sering terjadi diskurus memanfaatkan adat sebagai instrument politik praktis.

Oleh karena itu dalam pandangan penulis, kelompok masyarakat adat, sebuah lembaga non formal yang memiliki struktur sosial, harus diakselerasi dan ikut serta mewarnai dalam partisipasinya menciptakan Pemilu demokratis, melalui pendidikan demokrasi sesuai khas adat istiadat, kultur karakteristik masing-masing kelompok.

Dalam konteks Sultra, kelompok adat belum memberikan ruang publik untuk ikut andil dalam memberikan partisipasi Pemilu, padahal kita tahu bahwa struktur masyarakat adat Sultra masih memberikan pengaruh asas norma kepatutan dalam setiap dimensi.

Oleh karena itu, dalam meningkatkan angka partisipasi Pemilu kedepan, maka kelompok adat dapat diberikan stimulus merubah pola pikir, tidak hanya dijadikan sebagai subjek opinion,btetapi dapat diberikan peran spesial melalui pendidikan demokrasi secara utuh.

2. Penyandang Disabilitas
Penyandang disabilitas merupakan kelompok sosial yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam demokrasi. Disabilitas adalah seseorang yang memiliki kelainan fisik dan mental yang mengganggu dan menghambat bagi dirinya untuk melakukan giat dan aktivitas keseharian.

Tapi bukan berarti bahwa mereka tidak memiliki jiwa dan semangat, dalam mengambil peran dalam kegiatan sosial kemasyarakan, terkhusus dalam melibatkan diri ikut berpartisipasi dalam demokrasi.

Kelompok penyandang disabilitas adalah komponen penting yang perlu mendapat kebijakan dan keberpihakan khusus, bagi penyelenggara Pemilu melalui perekrutan sebagai relawan demokrasi yang sifatnya tidak mengikat.

Bukan saja adanya persamaan hak untuk memilih dan dipilih, tetapi hal penting adalah mendekatkan kepada mereka, bagaimana partisipasi itu juga ada pada segmen penyandang disabilitas, difabel.

3.Kelompok Marjinal
Kelompok marjinal dalam demokrasi adalah organ politik yang tidak terpisahkan dengan situasi sosial masyarakat. Adanya sikap skeptis dari kelompok marjinal dalam setiap Pemilu itu merupakan suatu keberadaan yang wajar dan natural.

Tindakan apatis dalam demokrasi yaitu reaksi kejiwaan alamiah pada setiap orang yang harus dimaknai dan telusuri, apa yang mendasari reaksi tersebut nampak di momen Pemilu.

Untuk itu ada beberapa karakteristik yang mempengaruhi, antara lain minimnya sumber daya manusia (SDM) yang bersangkutan, tidak mendapatkan perhatian dari masyarakat terdidik dan rasional, tidak adanya kenyamanan, serta kurangnya perhatian dalam memetakan partisipasi Pemilu.

Oleh karena itu, dalam menaikkan iklim Pemilu demokratis, tentu partisipasi dari kelompok marjinal ikut mempengaruhi presentase dalam menyalurkan hak pilihnya. Kelompok marjinal merupakan suatu masa transisi antara apakah partsipasi emosional atau partisipasi transaksional. Posisi tersebut hendaknya dapat dideteksi dan diketahui kecenderungan apa yang dikehendaki oleh kelompok marjinal tersebut.

Menurut analisis penulis, dapat diuraikan bahwa kelompok marjinal adalah mereka yang tidak memiliki kepentingan kepada penguasa, tidak butuh pemimpin yang dipilih melalui jalur pemilihan demokratis atau orang-orang yang nyaman dengan lingkungannya atau indivudu yang tidak berdaya, cenderung putus asa dan lain sebagainya dan hal ini populasinya makin bertambah.

4. Kelompok Remaja dan Pemuda Milenial
Peran serta remaja dan pemuda sebagai pemilih milenial adalah spektrum demokrasi yang mendapatkan perhatian khusus, dalam meningkatan partisipasi politik, karena kelompok remaja dan pemuda merupakan miniatur demokrasi masa depan bangsa.

olehnya itu, intervensi dan fasilitas dapat menentukan arah berpikir cara pandang, sikap dan tindakan di lingkungan sosial masyarakat. Kelompok remaja dan pemuda adalah individu-individu yang tidak terikat secara struktur, dengan kepentingan interested penyelenggara negara, tetapi dia adalah suatu kesatuan yang utuh dalam negara yang harus memiliki peran simetris atau keseimbangan cara, model dengan memperhatikan nilai-nilai sosial kemasyarakatan.

Partisipasi pemuda dalam menciptakan iklim   demokratis adalah suatu kondisi adanya kesinambungan dan keseimbangan peran yang dipraktekkan bagi generasi milenial, baik secara formal maupun non formal.

Untuk pendekatan intervensi kelompok sosial formal remaja dan pemuda milenial, dapat dilakukan melalui edukasi, persuasif dan melalui kebijakan pemerintah, memasukan dalam kurikulum pendidikan berbasis demokrasi dan menyediakan kegiatan ekstra kurikuler simulasi bahwa Pemilu yang demokratis adalah tradisi lingkungan sosial yang pasti niscaya adanya bukan sesuatu hal yang utopis atau hanya dapat mengambarkan, tetapi sulit untuk diwujudkan.

Dalam pandangan penulis, khusus untuk kelompok sosial remaja dan pemuda milenial non formal, dalam meningkatkan partisipasi Pemilu demokratis, selain tahapan yang disiapkan oleh penyelenggara, ada pra kondisi atau pasca kondisi yang harus difasilitasi dan diorganisir.

Selain itu bahwa pemilu demokratis bukan saja tugas dan kewenangan oleh penyelenggara, tetapi yang terpenting yaitu adanya kelompok sosial masyarakat mempunyai andil untuk mewujudkan hal tersebut. Untuk itu, penyelenggara, calon pemimpin, dan pemilih adalah sebuah mata rantai yang saling berhubungan.

Oleh karena itu sebagai penyelenggara memiliki peran penting dan krusial dalam melakukan polarisasi kelompok sosial masyarakat non formal, agar mereka tahu bahwa demokrasi adalah sebuah musim yang mengembirakan dan memiliki daya tarik atau magnet politik rakyat Indonesia.

Tentu strategi dan skema tersebut dapat menyiapkan hal-hal mana yang harus diintervensi kepada kelompok sosial masyarakat non formal untuk kluster remaja pemuda milenial, sebagai alat bantu dalam mendorong munculnya partisipasi politik dalam melahirkan pemilu demokratis.

Dengan demikian, peran yang dapat diorganisir kepada kelompok sosial masyarakat, selain tindakan sosialisasi dan edukasi yang terjadwal, juga dapat membentuk kampung demokrasi, wisata demokrasi warung demokrasi, juga dapat memfasilitasi terbentuknya kantin kejujuran di areal kawasan badan-badan adhock, sebagai manivestasi pemberian hak suara secara bebas dan rahasia.

5.Pondok Pesantren
Pondok pesantren adalah salah satu mitra penyelenggara untuk memfasilitasi  ikut memberikan kontribusi dalam meningkatkan partisipasi Pemilu, karena pemilih pemula dan pemilih potensial berada di basis pesantren.

Oleh karena itu perlu dilakukan secara terstruktur, masif dan terus-menerus untuk dilakukan tindakan khusus melalui pendidikan Pemilu, sosialisasi, dan edukasi di pondok-pondok pesantren.

Kita ketahui bahwa pondok pesantren adalah kelompok sosial yang berkelanjutan, tetap, dan permanen, maka perlu melakukan kebijakan melalui penerapan kurikulum nasional, memasukan materi demokrasi sebagai mata pelajaran muatan lokal dengan pada jenjang akhir setingkat SMA/sederajat.

Dengan adanya materi tersebut, santri dan alumninya dapat memiliki pengetahuan dasar tentang demokrasi dan pemilih,sebagai perangkat partisipasi dalam mewujudkan pemilu yang demogratis, bermartabat, dan berintegritas.


 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *