Oleh: Paskaria B Bangapadang, S.si
Penulis adalah Penyuluh KB ahli muda, di Kecamatan Ranomeeto, Kabupaten Konsel
Konawe Selatan, Rakyatpostonline.Com – Stunting atau sering disebut kerdil atau pendek adalah kondisi gagal tumbuh pada anak berusia di bawah lima tahun (Balita), akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, terutama pada periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu dari janin hingga anak berusia 23 bulan.
Stunting merupakan kondisi gagal pertumbuhan pada anak (pertumbuhan tubuh dan otak) akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama, sehingga anak lebih pendek dari anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam berpikir.
Sampai saat ini, stunting masih menjadi masalah kesehatan yang terus ditangani oleh pemerintah pusat dan daerah. Sebagai salah satu bentuk komitmen untuk mempercepat penurunan stunting, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting.
Perpres ini merupakan payung hukum bagi Strategi Nasional (Stranas) Percepatan Penurunan Stunting yang telah diluncurkan dan dilaksanakan sejak tahun 2018. Perpres ini juga untuk memperkuat kerangka intervensi yang harus dilakukan dan kelembagaan dalam penanganan percepatan stunting.
Pemerintah menargetkan penurunan prevalensi stunting 14 persen di tahun 2024 dan target pembangunan berkelanjutan di tahun 2030 berdasarkan capaian di tahun 2024.
Berdasarkan lima pilar Percepatan Penurunan Stunting, akan disusun Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk mendorong dan menguatkan konvergensi antar program melalui pendekatan keluarga berisiko stunting, meskipun angkanya turun setiap tahun.
Menurut data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2021, prevalensi stunting Indonesia masih mencapai 24,4 persen, sehingga pemerintah terus menggalakan program penurunan angka stunting di berbagai lini, termasuk juga di lingkup BKKBN yaitu dengan program pemberian edukasi mulai saat calon pengantin, kehamilan dan 1000 HPK.
Bahkan khusus di lingkup Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Konawe Selatan (Konsel), mengadakan launcing dapur sehat atasi stunting (dahsat), pada pertengahan Juni 2022 lalu yang bertujuan dalam upaya pemenuhan gizi seimbang bagi keluarga berisiko stunting. Kegiatan ini dihadiri bupati dan para stakeholder lingkup Pemkab Konsel, serta pejabat BKKBN Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).
Penyebab stunting di Indonesia berasal dari banyak faktor. dimulai sebelum lahir (faktor ibu) dan lanjut sesudah lahir yang faktor pencetus utamanya adalah karena kekurangan gizi dalam kurun waktu yang lama.
Kekurangan gizi dalam waktu lama itu terjadi sejak janin dalam kandungan sampai awal kehidupan anak (1000 Hari Pertama Kelahiran). Penyebabnya karena rendahnya akses terhadap makanan bergizi, rendahnya asupan vitamin dan mineral, dan buruknya keragaman pangan dan sumber protein hewani.
Faktor ibu dan pola asuh yang kurang baik terutama pada perilaku dan praktek pemberian makan kepada anak juga menjadi penyebab anak stunting apabila ibu tidak memberikan asupan gizi yang cukup dan baik. Ibu yang masa remajanya kurang nutrisi, bahkan di masa kehamilan dan laktasi, sangat berpengaruh pada pertumbuhan tubuh dan otak anak.
Faktor lainnya yang menyebabkan stunting, terjadi infeksi pada ibu, kehamilan remaja, gangguan mental pada ibu, jarak kelahiran anak yang pendek, dan hipertensi. Selain itu, rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan, termasuk akses sanitasi dan air bersih, menjadi salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan anak.
Stunting dapat diintervensi dengan gizi spesifik dan gizi sensitif. Intervensi gizi spesifik merupakan intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30% penurunan stunting.
Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan pada sektor kesehatan dimulai dari masa kehamilan ibu hingga melahirkan balita yang meliputi intervensi gizi spesifik, yaitu pemberian makanan dan tablet penambah darah pada ibu hamil, inisiasi menyusui dini (IMD), pemberian ASI eksklusif, pemberian ASI didampingi oleh pemberian MPASI pada usia 6-24 bulan, dan berikan imunisasi lengkap pada anak.
Intervensi gizi sensitif dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan dan berkontribusi pada 70% intervensi stunting. Kegiatan terkait intervensi gizi sensitif dapat dilaksanakan melalui beberapa kegiatan yang umumnya makro.
Kegiatan ini dilakukan secara lintas Kementerian dan Lembaga yang meliputi intervensi gizi sensitif yaitu menyediakan dan memastikan akses pada air bersih dan sanitasi, menyediakan akses ke layanan kesehatan dan Keluarga Berencana (KB), memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua, dan memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi serta gizi pada remaja.
Selain itu, penurunan stunting menjadi salah satu prioritas nasional dalam RPJMN 2020-2024. Pada dokumen stranas, dijabarkan lima pilar utama dalam penanganan stunting, yaitu:
1. Komitmen dan Visi Kepemimpinan,
2. Kampanye Nasional dan Perubahan Perilaku,
3. Konvergensi Program Pusat, Daerah dan Desa,
4. Ketahanan Pangan dan Gizi,
5. Pemantauan dan Evaluasi.