Konawe Utara, Rakyatpostonline.com – Upah layak ibarat mimpi siang bolong bagi buruh PT. Makkuraga Tama Kreasindo (MTK). Bayangkan, di tengah deretan harga sembako yang berlomba naik dan pulsa yang makin cepat habis, para buruh justru dibayar Rp2 juta per bulan.
Angka itu bahkan belum cukup untuk bayar kontrakan, apalagi beli beras dan susu anak. Padahal, menurut SK Gubernur Sultra Nomor 100.3.3.1/489 Tahun 2024, Upah Minimum Kabupaten (UMK) Konawe Utara tahun 2025 adalah Rp3.259.583.
Yang lebih ironis, upah mini itu dibayar oleh perusahaan tambang yang beroperasi di tanah kaya nikel, bukan usaha warung kopi keliling. Tak pelak, banyak yang menyebut PT. MTK bukan hanya pelit, tapi sudah sampai taraf “dzalim berjamaah” terhadap buruh lokal.
Ketua Konsorsium Pemerhati Pertambangan dan Investasi Sulawesi Tenggara (Konspirasi Sultra), Iman Pagala, angkat bicara.
“Bayangkan, bekerja dari Januari sampai Juni, slip gaji baru nongol April dan Mei. Ini bukan transparansi, ini ilusi administrasi,” Kata Iman dengan nada prihatin dan sedikit gemas.
Menurut Iman, PT. MTK yang menjadi kontraktor dari PT. Bumi Konawe Abadi (BKA) telah mengabaikan prinsip dasar hubungan industrial.
Bahkan ketika para buruh memberanikan diri protes dan menutup jalan operasional, balasan perusahaan bukan dialog terbuka, melainkan Surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
“Tiga kali pertemuan, nihil kesepakatan, lalu main PHK. Ini bukan win-win solution, ini ‘win-ditendang solution’ bagi buruh,” sindir Iman.
Tak berhenti di situ, PT. MTK bahkan diduga melanggar PP RI Nomor 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan, khususnya pasal 23 ayat (3), yang secara jelas melarang perusahaan membayar di bawah upah minimum.
Bahkan dalam pasal 53 ayat (2) disebutkan bahwa setiap pembayaran upah wajib disertai slip gaji yang lengkap. Tapi kenyataan di lapangan, perusahaan tampaknya lebih percaya pada “janji lisan” ketimbang “bukti tertulis”.
Lalu di mana PT. BKA selaku pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP)?.
“Kami mempertanyakan, kenapa hal ini bisa luput dari pengawasan? Masa iya tidak tahu apa yang dilakukan kontraktornya? Kalau tidak tahu, berarti pengawasan lemah. Kalau tahu tapi diam, berarti turut menikmati,” tegas Iman lagi.
Ia mendesak agar PT. BKA bertanggung jawab atas kontraktor yang dinilai “berjiwa outsourcing tapi berkelakuan seperti tuan tanah kolonial.”
Tak ketinggalan, sorotan juga diarahkan kepada Pemerintah Daerah Konawe Utara, khususnya Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja.
“Kami minta Pemda bertindak tentang kesejahteraan buruh, tapi juga berani bertindak nyata. Ini soal martabat masyarakat Konut sendiri!” ujar Iman.
Ia menyarankan agar Disnakertrans memberikan sanksi administratif atau bahkan merekomendasikan penegakan hukum pidana, jika PT. MTK tetap keras kepala.
“Kalau sudah ada SK Gubernur, masa iya perusahaan masih pakai hitungan sendiri? Negara tidak boleh kalah dengan kalkulator perusahaan,” sindirnya.
- Pemda Konut diminta turun tangan dan bersikap tegas, dalam drama PHK sepihak.
- PT. BKA harus mengevaluasi kontraktornya. Kalau perlu, copot dan cari kontraktor baru yang lebih manusiawi.
- PT. MTK harus membayar kekurangan upah dan memulihkan hak buruh yang di PHK tanpa prosedur.
- Disnakertrans Konut jangan cuma menjadi tempat stempel anjuran. Harus jadi pelindung buruh, bukan sekadar pengamat data.
“Ini bukan hanya soal upah, ini soal rasa keadilan, rasa hormat kepada pekerja yang tiap hari berkeringat demi isi perut anak-istri,” pungkas Iman Pagala.
Di negeri yang katanya menjunjung tinggi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, jangan sampai keadilan hanya numpang lewat di pidato peringatan Hari Buruh.
Karena selama buruh masih dianggap sebagai angka, bukan manusia, maka kesejahteraan hanya akan jadi wacana. (**)
Laporan : Muh. Sahrul