Konawe Utara, Rakyatpostonline.Com – Upaya peningkatan kesiapsiagaan masyarakat terhadap potensi bencana terus menjadi prioritas Pemerintah Kabupaten Konawe Utara (Konut), Sulawesi Tenggara.
Melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Konut, program pembentukan Desa Tangguh Bencana (Destana) kembali digencarkan, kali ini dengan menyasar masyarakat Desa Laimeo, Kecamatan Sawa.
Sejak beberapa tahun terakhir, Konawe Utara dikenal sebagai salah satu daerah di Sulawesi Tenggara dengan kerentanan bencana cukup tinggi, mulai dari banjir, longsor, hingga angin kencang.
Kondisi geografis yang beragam menjadikan masyarakat perlu memiliki pemahaman dan kemampuan dasar dalam menghadapi situasi darurat. Hal inilah yang mendorong BPBD Konut kembali turun langsung memberikan pelatihan dan penyuluhan di tingkat desa.
Pelatihan yang digelar di Posko Darurat Bencana Desa Laimeo pada Sabtu (15/11/2025) tersebut dihadiri langsung oleh Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Konut, Afandi, S.Km.
Ia menegaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari komitmen pemerintah daerah untuk memperkuat kapasitas masyarakat dalam sistem penanggulangan bencana.
“Selain memfasilitasi pembentukan Destana, kami juga memberikan pelatihan dan penyuluhan dasar tentang penanggulangan bencana kepada warga Desa Laimeo,” ucap Afandi.
Menurutnya, kehadiran Destana bukan hanya formalitas program, tetapi untuk memastikan masyarakat memiliki kemampuan yang memadai dalam mengenali ancaman, memitigasi risiko, serta bertindak cepat saat menghadapi kondisi darurat.
Masih di lokasi kegiatan, Kepala Seksi Pencegahan BPBD Konut, Emil Jayanto, SH, turut memberikan pemahaman mengenai dasar hukum dan prinsip penanggulangan bencana di Indonesia. Ia menjelaskan bahwa seluruh kegiatan mitigasi dan respons kebencanaan telah memiliki dasar hukum yang kuat melalui Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
“Undang-undang ini menjelaskan definisi bencana, prinsip-prinsip penanggulangan bencana, serta peran pemerintah dan masyarakat dalam upaya pengurangan risiko,” jelas Emil.
Selain itu, ia menambahkan bahwa aturan teknis penyelenggaraan penanggulangan bencana juga diperjelas melalui Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008, yang mengatur tentang sistem perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan.
Dalam pemaparannya, Emil menjelaskan empat prinsip dasar penanggulangan bencana, yakni:
. Pencegahan dan mitigasi
. Kesiapsiagaan
. Respons dan pemulihan
. Pembangunan berkelanjutan
Prinsip ini juga sejalan dengan Kerangka Kerja Sendai 2015–2030 yang menjadi pedoman global dalam mengurangi risiko bencana.
Ia menambahkan bahwa standar internasional seperti ISO 31000:2018 tentang manajemen risiko dan ISO 22301:2019 tentang manajemen keberlanjutan bisnis dapat menjadi acuan untuk meningkatkan ketahanan masyarakat dan infrastruktur desa.
Salah satu materi yang paling ditekankan dalam pelatihan ini adalah Pengkajian Risiko Bencana Partisipatif (PRB). Metode ini mengajak masyarakat terlibat langsung dalam mengidentifikasi potensi ancaman di desanya sendiri.
“Proses pengkajian ini melibatkan diskusi kelompok, wawancara, observasi lapangan, hingga analisis dokumen penanggulangan bencana yang ada di Desa Laimeo,” ungkap Emil.
Tujuan utama PRB antara lain:
. Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap berbagai risiko bencana
. Mengidentifikasi ancaman spesifik yang mungkin terjadi di desa
. Memperkuat peran serta masyarakat dalam setiap tahapan penanggulangan bencana
. Meningkatkan ketahanan lingkungan, infrastruktur, serta kapasitas masyarakat
Tahapan dalam PRB dimulai dari identifikasi ancaman, analisis kerentanan, analisis kapasitas, evaluasi risiko, hingga penyusunan strategi pengurangan risiko bencana.
Menurut Emil, metode ini terbukti efektif karena masyarakatlah yang paling memahami kondisi wilayah mereka. Dengan demikian, strategi mitigasi yang dihasilkan lebih tepat sasaran dan memiliki peluang besar untuk diimplementasikan.
Lebih lanjut, Emil menyebutkan bahwa PRB memberikan dampak positif signifikan, di antaranya:
. Mendorong keterlibatan aktif masyarakat
. Memperkuat kesadaran terhadap ancaman bencana
. Menghasilkan data risiko yang lebih akurat
. Mempercepat proses penyusunan rencana tanggap darurat
. Membangun budaya siaga bencana di lingkungan desa
Hal ini penting mengingat Desa Laimeo merupakan salah satu desa yang rawan terdampak bencana banjir musiman dan abrasi sungai. Dengan pembekalan yang memadai, masyarakat diharapkan lebih sigap dan tidak panik saat kondisi darurat terjadi.
“Dengan memahami dasar penanggulangan bencana serta teknik pengkajian risiko, warga Destana Desa Laimeo dapat mengembangkan strategi yang efektif untuk mengurangi risiko bencana dan meningkatkan ketahanan desa,” tegas Emil.
Kegiatan ini ditutup dengan sesi diskusi interaktif, simulasi sederhana, serta pembentukan tim Destana yang akan berperan sebagai garda terdepan dalam upaya mitigasi dan respon darurat di Desa Laimeo.
Laporan : Red

