Wakatobi, Rakyatpostonline.com – Proses hukum atas dugaan tindak pidana lingkungan hidup di kawasan konservasi Taman Nasional Laut Wakatobi, Sulawesi Tenggara, terus bergulir.
Melalui penyelidikan oleh Direktorat Polairud Polda Sultra, kasus ini kini memasuki tahap krusial usai sejumlah karyawan PT Wakatobi Dive Resort (WDR) diperiksa sebagai pihak yang diduga terlibat dalam pengrusakan ekosistem terumbu karang.
Kasus ini mencuat usai laporan masyarakat nelayan lokal Kecamatan Tomia yang selama bertahun-tahun dibatasi ruang tangkapnya oleh aktivitas pariwisata komersial PT WDR.
Laporan tersebut kemudian direspons serius oleh aparat penegak hukum dan menjadi fokus penyelidikan Gakkum Polairud.
Menanggapi perkembangan tersebut, Dedi Ferianto, S.H., CMLC, selaku Kuasa Hukum Pelapor, menyatakan bahwa meskipun langkah hukum sudah mulai ditempuh, proses ini tidak boleh berhenti hanya pada pemanggilan karyawan lapangan. Ia menegaskan pentingnya akuntabilitas korporasi dalam kasus ini.
“Kami mengapresiasi kerja Gakkum Polairud Polda Sultra dalam memulai proses hukum atas dugaan pengrusakan terumbu karang ini. Tapi kami juga menuntut agar pemeriksaan diperluas sampai ke jajaran Direksi PT WDR. Karena tanggung jawab hukum tidak berhenti pada pelaksana teknis, tapi juga harus menyentuh pengambil kebijakan tertinggi perusahaan,” ujar Dedi kepada awak media.
29 Tahun Nelayan Dibatasi, Kini Fakta Pelanggaran Mulai Terkuak
Nelayan Kecamatan Tomia selama hampir tiga dekade dibatasi aksesnya ke wilayah tangkap tradisional mereka akibat klaim sepihak dan patroli laut yang dijalankan oleh PT WDR.
Bahkan, dalam beberapa kasus, nelayan lokal kerap diusir saat melakukan aktivitas mencari ikan di zona konservasi, meski dilakukan secara ramah lingkungan.
Melalui negosiasi panjang yang difasilitasi kuasa hukum, akhirnya pada pertengahan tahun 2025 ini, PT WDR dan perwakilan nelayan menandatangani berita acara kesepakatan yang di antaranya memuat poin penting:
- Penghentian total patroli laut yang selama ini melakukan pengusiran nelayan lokal, hingga sosialisasi zonasi dilakukan secara menyeluruh di seluruh desa pesisir Tomia.
- Pemberhentian oknum karyawan PT WDR yang terbukti melakukan pengrusakan terumbu karang.
- Pengakuan hak penangkapan ikan nelayan lokal di zona tradisional asalkan menggunakan alat tangkap ramah lingkungan.
- Penghentian praktik pembelian pasir laut secara ilegal dalam kawasan taman nasional yang diduga selama ini dilakukan untuk keperluan pembangunan fasilitas pariwisata.
Berita acara ini turut disaksikan oleh Balai Taman Nasional Wakatobi, aparat kepolisian dan TNI, dan menjadi dasar penguatan dugaan pelanggaran lingkungan oleh pihak perusahaan.
Tuntutan Penegakan Hukum dan Keadilan Ekologis
Menurut Dedi Ferianto, temuan tersebut bukan sekadar pelanggaran administratif, namun telah memasuki ranah pidana lingkungan hidup, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
“Ini bukan perkara kecil. Kerusakan terumbu karang berarti kerusakan ekosistem laut yang vital bagi keberlangsungan hidup masyarakat pesisir. Jika hukum tak ditegakkan secara tegas, maka akan membuka ruang impunitas bagi pelaku kejahatan lingkungan berkedok pariwisata,” tegasnya.
Ia juga meminta agar proses hukum ini diawasi publik secara ketat dan transparan, karena menyangkut hak masyarakat adat dan tradisional yang telah lama terpinggirkan oleh kepentingan bisnis di kawasan konservasi.
Sorotan Terhadap Tanggung Jawab Negara dan Kementerian Terkait
Lebih jauh, Dedi juga menyoroti peran negara dalam pengawasan pengelolaan taman nasional oleh entitas bisnis. Ia menilai pengabaian terhadap pelanggaran seperti ini menunjukkan lemahnya pengawasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Balai Taman Nasional sebagai pengelola kawasan.
“Kementerian harus turun tangan secara aktif, bukan hanya hadir saat konflik memuncak. Taman Nasional adalah milik rakyat, bukan lahan komersil eksklusif perusahaan asing. Negara wajib hadir untuk menjamin akses masyarakat terhadap ruang hidupnya,” tegasnya.
Kemenangan Kecil, Tapi Perjuangan Belum Usai
Berita acara yang disepakati memang menjadi langkah maju dalam perjuangan nelayan, namun kuasa hukum menegaskan perjuangan hukum masih terus berlanjut.
“Kami ingin ini jadi preseden nasional bahwa hak-hak masyarakat adat pesisir tak boleh dikorbankan demi kepentingan pariwisata. Harus ada keadilan ekologis dan penegakan hukum tegas, sampai ke akar permasalahan,” tutup Dedi Ferianto.
Rakyatpostonline.com akan terus memantau perkembangan penyelidikan ini dan memberikan informasi terkini kepada publik. Untuk masyarakat Tomia dan seluruh Indonesia, ini bukan sekadar konflik lokal, tetapi potret nyata perjuangan rakyat melawan ketidakadilan atas nama konservasi dan investasi.
Laporan : Muh. Sahrul